Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa menghadap Allah (meninggal dunia),sedangkan ia biasa melalaikan Shalatnya,
maka Allah tidak mempedulikan sedikit-pun perbuatan baiknya (yang telah ia kerjakan tsb)". Hadist RiwayatTabrani.

Sholat itu Bikin Otak Kita Sehat" Maka dirikanlah Shalat karena Tuhanmu dan Berkurbanlah' (Q.S Al Kautsar:2)

Sebuah bukti bahwa keterbatasan otak manusia tidak mampu mengetahui semua rahasia atas rahmat, nikmat, anugrah yang diberikan oleh ALLAH kepadanya.

Haruskah kita menunggu untuk bisa masuk diakal kita ??

Seorang Doktor di Amerika ( Dr. Fidelma) telah memeluk Islam karena beberapa keajaiban yang di temuinya di dalam penyelidikannya.
Ia amat kagum dengan penemuan tersebut sehingga tidak dapat diterima oleh akal fikiran.

Dia adalah seorang Doktor Neurologi. Setelah memeluk Islam dia amat yakin pengobatan secara Islam dan oleh sebab itu itu telah membukasebuah
klinik yang bernama "Pengobatan Melalui Al Qur'an" Kajian pengobatan melalui Al-Quran menggunakan obat-obatan yang digunakan seperti yang terdapat didalam Al-Quran.
Di antara berpuasa, madu, biji hitam (Jadam) dan sebagainya.

Ketika ditanya bagaimana dia tertarik untuk memeluk Islam maka Doktor tersebut memberitahu bahwa sewaktu kajian saraf yang dilakukan,
terdapat beberapa urat saraf di dalam otak manusia ini tidak dimasuki oleh darah. Padahal setiap inci otak manusia memerlukan darah yang cukup untuk berfungsi secara yang lebih normal.
Setelah membuat kajian yang memakan waktu akkhirnya dia menemukan bahwa darah tidak akan memasuki urat saraf di dalam otak tersebut melainkan ketika seseorang tersebut bersembahyang yaitu ketika sujud.
Urat tersebut memerlukan darah untuk beberapa saat tertentu saja. Ini artinya darah akan memasuki bagian urat tersebut mengikut kadar sembahyang waktu yang diwajibkan oleh Islam. Begitulah keagungan ciptaan Allah.
Jadi barang siapa yang tidak menunaikan sembahyang maka otak tidak dapat menerima darah yang secukupnya untuk berfungsi secara normal.
Oleh karena itu kejadian manusia ini sebenarnya adalah untuk menganut agama Islam "sepenuhnya" karena Sifat fitrah kejadiannya memang telah dikaitkan oleh Allah dengan agamanya yang indah ini.

Kesimpulannya :
Makhluk Allah yang bergelar manusia yang tidak bersembahyang walaupun akal mereka berfungsi secara normal
tetapi sebenarnya di dalam sesuatu keadaan mereka akan hilang pertimbangan di dalam membuat keputusan secara normal.
Justru itu tidak heranlah manusia ini kadang-kadang tidak segan-segan untuk melakukan
hal hal yang bertentangan dengan fitrah kejadiannya walaupun akal mereka mengetahui
perkara yang akan dilakukan tersebut adalah tidak sesuai dengan kehendak mereka
karena otak tidak bisa untuk mempertimbangkan Secara lebih normal.
Maka tidak heranlah timbul bermacam-macam gejala-gejala sosial Masyarakat saat ini.


MARI KITA PERBANYAK SUJUD AGAR OTAK KITA SEHAT & SEGAR SELALU


Al Imam Ahmad berkata, "Sesungguhnya kualitas keislaman seseorang adalah tergantung pada kualitas ibadah sholatnya.
Kecintaan seseorang kepada Islam juga tergantung pada kecintaan dalam mengerjakan sholat.
Oleh karena itu kenalilah dirimu sendiri wahai hamba Allah! Takutlah kamu jika nanti menghadap Allah Azza Wa Jalla
tanpa membawa kualitas keislaman yang baik. Sebab kualitas keislaman dalam hal ini ditentukan oleh kualitas ibadah sholatmu.
" (Ibn al Qayyim, ash Sholah, hal 42 dan ash Sholah wa hukmu taarikihaa, hal 170-171)

Setiap pagi kalau kita tinggal didekat mesjid maka akan terbangun mendengar adzan subuh, yang menyuruh kita untuk melaksanakan shalat subuh. Bagi mereka yang beriman segera saja melemparkan selimut dan segera wudhu dan shalat baik di rumah masing-masing atau ke mushalla atau masjid terdekat dengan berjalan kaki.

Mungkin menjadi pertanyaan
mengapa Tuhan memerintahkan kita bangun pagi dan shalat subuh?

Berbagai jawaban dari semua disiplin ilmu tentunya akan banyak dijumpai dan membedah serta memberikan jawaban akan manfaat shalat subuh itu. Dibawah akan diulas sedikit mengani manfaat shalat subuh, instruksi Allah sejak 1400 tahun yang lalu.

Dalam adzan subuh juga akan terdengar kalimat lain dibandingkan dengan kalimat-kalimat yang dikumandangkan muazin untuk waktu-waktu shalat selanjutnya. Kalimat yang terdengar berbeda dan tidak ada pada azan di lain waktu adalah "ash shalatu khairun minan naum".

Arti kalimat itu adalah shalat itu lebih baik dari pada tidur.
Pernahkah kita mencoba sedikit saja menghayati kalimat "ash shalatu khairun minan naum"?
Mengapa kalimat itu justru dikumandangkan hanya pada shalat subuh, tatkala kita semua sedang terlelap, dan bukan pada adzan untuk shalat lain.

Sangat mudah bagi kita semua mengatakan bahwa shalat subuh memang baik karena menuruti perintah Allah SWT, Tuhan semesta Alam,

Apapun perintahnya pasti bermanfaat bagi kehidupan manusia. Tetapi disisi mana manfaat itu?

Apa supaya waktu banyak untuk mencari rezeki, tidak ketinggalan kereta atau bus karena macet? Pada waktu dulukan belum ada desak-desakan seperti sekarang semua masih lancar, untuk itu tinjauan dari sisi kesehatan kardiovaskular masih menarik untuk dicermati.

Untuk tidak berpanjang kata, maka dikemukakan data bahwa shalat subuh bermanfaat karena dapat mengurangi kecenderungan terjadinya gangguan kardiovaskular.

Pada studi MILIS, studi GISSI 2 dan studi-studi lain di luar negeri, yang dipercaya sebagai suatu penelitian yang shahih maka dikatakan puncak terjadinya serangan jantung sebagian besar dimulai pada jam 6 pagi sampai jam 12 siang.

Mengapa demikian?

Karena pada saat itu sudah terjadi perubahan pada sistem tubuh dimana terjadi kenaikan tegangan saraf simpatis (istilah Cina:Yang) dan penurunan tegangan saraf parasimpatis (YIN). Tegangan simpatis yang meningkat akan menyebabkan kita siap tempur, tekanan darah akan meningkat, denyutan jantung lebih kuat dan sebagainya.

Pada tegangan saraf simpatis yang meningkat maka terjadi penurunan tekanan darah, denyut jantung kurang kuat dan ritmenya melambat. Terjadi peningkatan aliran darah ke perut untuk menggiling makanan dan berkurangnya aliran darah ke otak sehingga kita merasa mengantuk, pokoknya yang cenderung kepada keadaan istirahat.

Pada pergantian waktu pagi buta (mulai pukul 3 dinihari) sampai siang itulah secara diam-diam tekanan darah berangsur naik, terjadi peningkatan adrenalin yang berefek meningkatkan tekanan darah dan penyempitan pembuluh darah (efek vasokontriksi) dan meningkatkan sifat agregasi trombosit (sifat saling menempel satu sama lain pada sel trombosit agar darah membeku) walaupun kita tertidur.

Aneh bukan?

Hal ini terjadi pada semua manusia, setiap hari termasuk anda dan saya maupun bayi anda. Hal seperti ini disebut sebagai ritme Circardian/Ritme sehari-hari, yang secara kodrati diberikan Tuhan kepada manusia. Kenapa begitu dan apa keuntungannya Tuhan yang berkuasa menerangkannya saat ini.

Namun apa kaitannya keterangan di atas dengan kalimat "ash shalatu khairun minan naum"? Shalat subuh lebih baik dari tidur?

Secara tidak langsung hal ini dapat dirunut melalui penelitian Furgot dan Zawadsky yang pada tahun 1980 dalam penelitiannya mengeluarkan sekelompok sel dinding arteri sebelah dalam pada pembuluh darah yang sedang diseledikinya (dikerok).

Pembuluh darah yang normal yang tidak dibuang sel-sel yang melapisi dinding bagian dalamnya akan melebar bila ditetesi suatu zat kimia yaitu:
Asetilkolin. Pada penelitian ini terjadi keanehan, dengan dikeluarkannya sel-sel dari dinding sebelah dalam pembuluh darah itu, maka pembuluh tadi tidak melebar kalau ditetesi asetilkolin.

Penemuan ini tentu saja menimbulkan kegemparan dalam dunia kedokteran.

"Jadi itu toh yang menentukan melebar atau menyempitnya pembuluh darah, sesuatu penemuan baru yang sudah sekian lama, sekian puluh tahun diteliti tapi tidak ketemu".

Penelitian itu segera diikuti penelitian yang lain diseluruh dunia untuk mengetahui zat apa yang ada didalam sel bagian dalam pembuluh darah yang mampu mengembangkan/melebarkan pembuluh itu. Dari sekian ribu penelitian maka zat tadi ditemukan oleh Ignarro serta Murad dan disebut NO/Nitrik Oksida.

Ketiga penelitian itu Furchgott dan Ignarro serta Murad mendapat hadiah NOBEL tahun 1998.

Zat NO selalu diproduksi, dalam keadaan istirahat tidur pun selalu diproduksi, namun produksi dapat ditingkatkan oleh obat golongan Nifedipin dan nitrat dan lain-lain tetapi juga dapat ditingkatkan dengan bergerak, dengan olahraga.

Efek Nitrik oksida yang lain adalah mencegah kecenderungan membekunya darah dengan cara mengurangi sifat agregasi/sifat menempel satu sama lain dari trombosit pada darah kita.

Jadi kalau kita kita bangun tidur pada pagi buta dan bergerak, maka hal itu akan memberikan pengaruh baik pada pencegahan gangguan kardiovaskular.

Naiknya kadar NO dalam darah karena exercise yaitu wudhu dan shalat sunnah dan wajib, apalagi bila disertai berjalan ke mesjid merupakan proteksi bagi pencegahan kejadian kardiovaskular.

Selain itu patut dicatat bahwa pada posisi rukuk dan sujud terjadi proses mengejan, posisi ini meningkatkan tonus parasimpatis (yang melawan efek tonus simpatis). Dengan exercise tubuh memproduksi NO untuk melawan peningkatan kadar zat adrenalin di atas yang berefek menyempitkan pembuluh darah dan membuat sel trombosit darah kita jadi bertambah liar dan inginnya rangkulan terus.

Demikianlah kekuasaan Allah, ciptaannya selalu dalam berpasang-pasangan, siang-malam, panas-dingin, dan NO-Kontra anti NO.

Allah, sudah sejak awal Islam datang menyerukan shalat subuh. Hanya saja Allah tidak secara jelas menyatakan manfaat akan hal ini karena tingkat ilmu pengetahuan manusia belum sampai dan masih harus mencarinya sendiri walaupun harus melalui rentang waktu ribuan tahun.

Petunjuk bagi kemaslahatan umat adalah tanda kasihNya pada hambaNya. Bukti manfaat instruksi Allah baru datang 1400 tahun kemudian. Allahu Akbar.

Mudah-mudahan mulai saat ini kita tidak lagi memandang sholat sebagai perintahNya
akan tetapi memandangnya sebagai kebutuhan kita.
Sehingga tidak merasa berat dan terpaksa dalam menjalankan ibadah dan selalu shalat subuh didahului dengan shalat sunnah dan kalau dapat jalan ke mesjid.


Oleh : Dr.dr.Barita Sitompul.SpJP

Al Imam Ahmad berkata, "Sesungguhnya kualitas keislaman seseorang adalah tergantung pada kualitas ibadah sholatnya. Kecintaan seseorang kepada Islam juga tergantung pada kecintaan dalam mengerjakan sholat. Oleh karena itu kenalilah dirimu sendiri wahai hamba Allah! Takutlah kamu jika nanti menghadap Allah Azza Wa Jalla tanpa membawa kualitas keislaman yang baik. Sebab kualitas keislaman dalam hal ini ditentukan oleh kualitas ibadah sholatmu." (Ibn al Qayyim, ash Sholah, hal 42 dan ash Sholah wa hukmu taarikihaa, hal 170-171)

http://ccc.1asphost.com/assalamquran/

"Maka, datanglah sesudah mereka pengganti (yang jelak) yang menyia-nyiakan salat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka kelak mereka akan menemui sesesatan. Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan beramal saleh." (Maryam: 59-60).

Ibnu Abbas berkata, "Makna menyia-yiakan salat salat bukanlah meninggalkannya sama sekali, tetapi mengakhirkannya dari waktu yang seharusnya."

Imam para tabi'in, Sa'id bin Musayyib berkata, "Maksudnya adalah orang itu tidak mengerjakan salat duhur sehingga datang waktu asar; tidak mengerjakan asar sehingga datang magrib; tidak salat magrib sampai datang isya; tidak salat isya sampai fajar menjelang; tidak salat subuh sampai matahari terbit. Barang siapa mati dalam keadaan terus-menerus melakukan hal ini dan tidak bertobat, Allah menjanjikan baginya Ghayy, yaitu lembah di neraka Jahanam yang sangat dalam dasarnya lagi sangat tidak enak rasanya."

"Maka, kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lupa akan salatnya." Al-Maa'uun: 4-5). Orang-orang lupa adalah orang-orang yang lalai dan meremehkan salat.

Sa'ad bin Abi Waqqash berkata, "Aku bertanya kepada Rasulullah saw. tentang orang-orang yang lupa akan salatnya. Beliau menjawab, yaitu mengakhirkan waktunya."

Mereka disebut orang-orang yang salat. Namun, ketika mereka meremehkan dan mengakhirkannya dari waktu yang seharusnya, mereka diancam dengan Wail, azab yang berat. Ada juga yang mengatakan bahwa Wail adalah sebuah lembah di neraka Jahanam, jika gunung-gunung yang ada dimasukkan ke sana niscaya akan meleleh semuanya karena sangat panasnya. Itulah tempat bagi orang-orang yang meremehkan salat dan mengakhirkannya dari waktunya. Kecuali, orang-orang yang bertobat kepada Allah Taala dan menyesal atas kelalaiannya.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi. (Al-Munafiqun: 9).

Para mufasir menjelaskan, "Maksud mengingat Allah dalam ayat ini adalah salat lima waktu. Maka, barang siapa disibukkan oleh harta perniagaannya, kehidupan dunianya, sawah ladangnya, dan anak-anaknya dari mengerjakan salat pada waktunya, maka ia termasuk orang-orang yang merugi."

Rasulullah saw. bersabda yang artinya, "Amal yang pertama kali dihisab padahari kiamat dari seorang hamba adalah salatnya. Jika salatnya baik maka telah sukses dan beruntunglah ia, sebaliknya, jika rusak, sungguh telah gagal dan merugilah ia." (HR Tirmizi dan yang lain dari Abu Hurairah. Ia berkata, "Hasan Gharib.")

"Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan 'Laa ilaaha illallah' (Tiada yang berhak diibadahi selain Allah) dan mengerjakan salat serta membayar zakat. Jika mereka telah memenuhinya, maka darah dan hartanya aku lindungi kecuali dengan haknya. Adapun hisabnya maka itu kepada Allah." (HR Bukhari dan Muslim).

Dan, "Barang siapa menjaganya maka ia akan memiliki cahaya, bukti, dan keselamatan pada hari kiamat nanti. Sedang yang tidak menjaganya, maka tidak akan memiliki cahaya, bukti, dan keselamatan pada hari itu. Pada hari itu ia akan dikumpulkan bersama Firaun, Qarun, Haman, dan ubay bin Khalaf." (HR Ahmad).

Sebagian ulama berkata, "Hanyasanya orang yang meninggalkan salat dikumpulkan dengan empat orang itu karena ia telah menyibukkan diri dengan harta, kekuasaan, pangkat/jabatan, dan perniagaannya dari salat. Jika ia disibukkan dengan hartanya, ia akan dikumpulkan bersama Qarun. Jika ia disibukkan dengan kekuasaannya, ia akan dikumpulkan dengan Firaun. Jika ia disibukkan dengan pangkat/jabatan, ia akan dikumpulkan bersama Haman. Dan, jika ia disibukkan dengan perniagaannya akan dikumpulkan bersama Ubay bin Khalaf, seorang pedagang yang kafir di Mekah saat itu."

Mu'adz bin Jabal meriwayatkan, Rasulullah saw. bersabda, "Barang siapa meninggalkan salat wajib dengan sengaja, telah lepas darinya jaminan dari Allah Azza wa Jalla." (HR Ahmad).

Umar bin Khattab berkata, "Sesungguhnya tidak ada tempat dalam Islam bagi yang menyia-nyiakan salat." Umar bin Khattab meriwayatkan, telah datang seseorang kepada Rasulullah saw. dan bertanya, "Wahai Rasulullah, amal dalam Islam apakah yang paling dicintai oleh Allah Taala?" Beliau menjawab, "Salat pada waktunya. Barang siapa meninggalkannya, sungguh ia tidak lagi memiliki agama lagi, dan salat itu tiangnya agama."

Kala Umar terluka karena tusukan, seseorang mengatakan, "Anda tetap ingin mengerjakan salat, wahai Amirul Mukminin?" "Ya, dan sungguh tidak ada tempat dalam Islam bagi yang menyia-nyiakan salat," jawabnya. Lalu, ia pun mengerjakan salat, meski dari lukanya mengalir darah yang cukup banyak.

Rasulullah saw. bersabda, "Barang siapa berjumpa dengan Allah dalam keadaan menyia-nyiakan salat, Dia tidak akan mempedulikan satu kebaikan pun darinya."

Ibnu Hazm berkata, "Tidak ada dosa yang lebih besar sesudah syirik, selain mengakhirkan salat dari waktunya dan membunuh seorang mukmin bukan dengan haknya."

Aun bin Abdullah berkata, "Apabila seorang hamba dimasukkan ke dalam kuburnya, ia akan ditanya tentang salat sebagai sesuatu yang pertama kali ditanyakan. Jika baik barulah amal-amalnya yang lain dilihat. Sebaliknya, jika tidak, tidak ada satu amalan pun yang dilihat (dianggap tidak baik semuanya)."

Rasulullah saw. bersabda, "Apabila seorang hamba mengerjakan salat di awal waktu, salat itu --ia memiliki cahaya-- akan naik ke langit sehingga sampai ke Arsy, lalu memohonkan ampunan bagi orang yang telah mengerjakannya, begitu seterusnya sampai hari kiamat. Salat itu berkata, 'Semoga Allah menjagamu sebagaimana kamu telah menjagaku.' Dan, apabila seorang hamba mengerjakan salat bukan pada waktunya, salat itu--ia memiliki kegelapan--akan naik ke langit. Sesampainya di sana ia akan dilipat seperti dilipatnya kain yang usang, lalu dipukulkan ke wajah orang yang telah mengerjakannya. Salat itu berkata, 'Semoga Allah menyia-nyiakanmu sebagaimana kamu telah menyia-nyiakanku'."

Rasulullah saw. bersabda, "Ada tiga orang yang salatnya tidak diterima oleh Allah: seseorang yang memimpin suatu kaum padahal kaum itu membencinya; seseorang yang mengerjakan salat ketika telah lewat waktunya; dan seseorang yang memperbudak orang yang memerdekakan diri." (HR Abu Dawud dari Abdullah bin Amru bin Ash).

Beliau saw. juga bersabda, Barang siapa menjamak dua salat tanpa ada uzur, sungguh ia telah memasuki pintu terbesar di antara pintu-pintu dosa besar."

Dalam sebuah hadis yang lain disebutkan, "Sesungguhnya orang yang selalu menjaga salat wajib niscaya akan dikaruniai oleh Allah SWT dengan lima perkara:ditepis darinya kesempitan hidup, dijauhkan ia dari azab kubur, diterimakan kepadanya cacatan amalnya dengan tangan kanan, ia akan melewati shirath seperti kilat yang menyambar, dan akan masuk surga tanpa hisab.

Sebaliknya, orang yang menyia-nyiakannya niscaya akan dihukum oleh Allah dengan empat belas (14) hukuman: lima di dunia, tiga ketika mati, tiga di alam kubur, dan tiga lagi ketika keluar dari kubur.

Kelima hukuman di dunia adalah barakah dicabut dari hidupnya, tanda sebagai orang saleh dihapus dari wajahnya, semua amalan yang dikerjakannya tidak akan diberi pahala oleh Allah, doanya tidak akan diangkat ke langit, dan dia tidak akan mendapat bagian dari doanya orang-orang saleh.

Hukuman yang menimpanya ketika mati adalah dia akan mati dalam kehinaan, dalam kelaparan, dan dalam kehausan. Meskipun ia diberi minum air seluruh lautan dunia, semua itu tidak mampu menghilangkan dahaganya.

Hukuman yang menimpanya dikubur adalah kuburnya menyempit sehingga tulang-tulangnya remuk tak karuan, dinyalakan di sana api yang membara siang-malam, dan ia dihidangkan kepada seekor ular yang bernama As-Suja al-Aqra. Kedua bola matanya dari api, kuku-kukunya dari besi, dan panjang tiap kuku itu sejauh perjalanan satu hari. Ular itu terus-menerus melukai si mayit sambil berkata, 'Akulah As-Suja al-Aqra!' Seruannya bagaikan gemuruh halilintar, 'Aku diperintah oleh Rabku untuk memukulmu atas kelakuanmu yang menunda-nunda salat subuh sampai terbit matahari, juga atas salat zuhur yang kau tunda-tunda sampai masuk waktu asar, juga atas asar yang kau tunda-tunda sampai magrib, juga atas magrib yang kau tunda-tunda sampai isya, dan atas isya yang kau tunda-tunda sampai subuh.' Setiap kali ular itu memukulnya, ia terjerembab ke bumi selama 70 hasta.

Demikian keadaannya sampai datangnya hari kiamat nanti. Adapun hukuman yang menimpanya sekeluarnya dari kubur pada hari kiamat adalah hisab yang berat, kemurkaan Rab, dan masuk ke neraka."

Dikisahkan, seseorang dari kalangan salaf turut menguburkan saudara perempuannya yang mati. Tanpa ia sadari sebuah kantong berisi harta yang ia bawa jatuh dan turut terkubur. Begitu pula dengan mereka yang hadir, tidak satu pun menyadarinya. Sepulang darinya, barula ia sadar. Maka, ia kembali ke makam dan ketika semua orang telah pulang ke tempat masing-masing ia bongkar kembali makam saudaranya itu. Dan ia pun terkejut begitu melihat api yang menyala-nyala dari dalam makam. Serta merta ia kembalikan tanah galian, dan pulang sambil bercucuran air mata. Mendapati ibunya, ia bertanya, "Duhai Ibunda, gerangan apakah yang telah dilakukan oleh saudara perempuanku?" "Mengapa kau menanyakan,anakku?" ibunya balik bertanya. Ia pun menjawab, "Bunda, sungguh aku melihat kuburnya dipenuhi kobaran api." Lalu, ibunya menangis dan berkata, "Wahaianakku, dulu saudara perempuanmu terbiasa meremehkan dan mengakhirkan salat dari waktunya."

Ini adalah keadaan mereka yang mengakhirkan salat dari waktunya. Lalu, bagaimana dengan mereka yang tidak mengerjakannya?

Marilah kita memohon pertolongan kepada Allah agar kita selalu dapat menjaga salat pada waktunya. Sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia.

Sumber: Al-Kabaair, Syamsuddin Muhammad bin Utsman bin Qaimaz at-Turkmani al-Fariqi ad-Dimasyqi asy-Syafii

Al Imam Ahmad berkata, "Sesungguhnya kualitas keislaman seseorang adalah tergantung pada kualitas ibadah sholatnya. Kecintaan seseorang kepada Islam juga tergantung pada kecintaan dalam mengerjakan sholat. Oleh karena itu kenalilah dirimu sendiri wahai hamba Allah! Takutlah kamu jika nanti menghadap Allah Azza Wa Jalla tanpa membawa kualitas keislaman yang baik. Sebab kualitas keislaman dalam hal ini ditentukan oleh kualitas ibadah sholatmu." (Ibn al Qayyim, ash Sholah, hal 42 dan ash Sholah wa hukmu taarikihaa, hal 170-171)

website:http://ccc.1asphost.com/assalam/

NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
TIDAK PERNAH SHALAT TARAWIH MELEBIHI SEBELAS RAKA'AT

Oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani


Setelah kita menetapkan, disyariatkannya berjama'ah dalam shalat tarawih berdasarkan ketetapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, perbuatan beliau dan juga anjurannya ; Maka sudah seharusnya kami jelaskan juga beberapa jumlah raka'at yang dilaksanakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada malam-malam yang beliau hidupkan bersama para sahabat. Dan perlu diketahui, bahwa dalam hal ini kami memiliki dua dalil.

Yang pertama : Dari Abi Salamah bin Abdir-Rahman, bahwasanya ia pernah bertanya kepada 'Aisyah Radhiallahu 'anha tentang bagaimana shalat Rasulullah Shallallahu 'alihi wa sallam di bulan Ramadhan ? Beliau menjawab : "Baik pada bulan Ramadhan maupun pada bulan-bulan yang lain, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah shalat malam melebihi sebelas raka'at[1] . Beliau shalat empat raka'at[2] ; jangan tanya soal bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat lagi empat raka'at, jangan juga tanya soal bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat (witir) tiga raka'at.

Hadits tersebut diatas, diriwayatkan oleh Al-Bukhari (III : 25, IV : 205), Muslim (II : 166), Abu 'Uwanah (II : 327), Abu Dawud (I : 210), At-Tirmidzi (II : 302-303 cetakan Ahmad Syakir), An-Nasa'i (I : 248), Malik (I : 134), Al-Baihaqi (II : 495-496) dan Ahmad (VI : 36,73, 104).

Yang kedua : Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu 'anhu bahwa beliau menuturkan : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami di bulan Ramadhan sebanyak delapan raka'at lalu beliau berwitir. Pada malam berikutnya, kamipun berkumpul di masjid sambil berharap beliau akan keluar. Kami terus menantikan beliau disitu hingga datang waktu fajar. Kemudian kami menemui beliau dan bertanya : "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami menunggumu tadi malam, dengan harapan engkau akan shalat bersama kami". Beliau menjawab : "Sesungguhnya aku khawatir kalau (akhirnya) shalat itu menjadi wajib atas dirimu". [Diriwayatkan oleh Ibnu Nashar (hal 90), Ath-Thabrani dalam "Al-Mu'jamu Ash-Shagir" (hal 108). Dengan hadits yang sebelumnya, derajatnya hadist ini hasan. Dalam "Fathul Bari" demikian juga dalam "At-Talkhish" Al-Hafizh Ibnu Hajar mengisyaratkan bahwa hadits itu shahih, Namun beliau menyandarkan hadits itu kepada Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah masing-masing dalam Shahih-nya].

Hadits Tarawih Dua Puluh Raka'at Dha'if Sekali dan Tidak Dapat Dijadikan Hujjah Untuk Beramal

Dalam "Fathul Bari" (IV : 205-206) Ibnu Hajar ketika menjelaskan hadits yang pertama, beliau menyatakan : "Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari hadits Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat di bulan Ramadhan dua puluh raka'at ditambah witir, sanad hadist ini adalah dha'if. Hadits 'Aisyah yang disebut dalam shahih Al-Bukhari dan Muslim ini juga bertentangan dengan hadits itu, padahal 'Aisyah sendiri lebih mengetahui seluk beluk kehidupan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada waktu malam daripada yang lainnya". Pendapat serupa juga telah lebih dahulu diungkapkan oleh Az-Zailai' dalam "Nashbu ar-Rayah" (II : 153).

Saya mengatakan : "Hadits Ibnu Abbas ini dha'if sekali, sebagaimana dinyatakan oleh As-Suyuthi dalam "Al-Hawi Lil Fatawa" (II : 73). Adapun cacat hadits itu yang tersembunyi, adanya perawi bernama Abu Syaibah Ibrahim bin Utsman. Al-Hafizh dalam "At-Taqrib" menyatakan : "Haditsnya matruk (perawinya dituduh pendusta)". Aku telah menyelidiki sumber-sumber pengambilan hadits itu, namun yang aku temui cuma jalannya. Ibnu Abi Syaibah juga mengeluarkannya dalam "Al-Mushannaf " (II : 90/2), Abdu bin Hamid dalam "Al-Muntakhab Minal Musnad" (43 : 1-2), Ath-Thabarani dalam "Al-Mu'jamu Al-Kabir" (III : 148/2) dan juga dalam "Al-Ausath" serta dalam "Al-Muntaqa" (edisi tersaring) dari kitab itu, oleh Adz-Dzahabi (II : 3), atau dalam "Al-Jam'u" (rangkuman) Al-Mu'jam Ash-Shaghir dalam Al-Kabir oleh penulis lain (119 : I), Ibnu 'Adiy dalam "Al-Kamil" (I : 2), Al-Khatib dalam "Al-Muwaddhih" (I : 219) dan Al-Baihaqi dalam "Sunan"-nya (II : 496). Seluruhnya dari jalur Ibrahim (yang tersebut) tadi, dari Al-Hakam, dari Muqsim, dari Ibnu Abbas hanya melalui jalan ini". Imam Al-Baihaqi juga menyatakan : "Hadits ini hanya diriwayatkan melalui Abu Syaibah, sedangkan ia perawi dha'if ". Demikian juga yang dinyatakan oleh Al-Haitsami dalam "Majmu' Az-Zawaid" (III : 172) bahwa ia perawi yang dha'if. Kenyataannya, ia malah perawi yang dha'if sekali, seperti diisyaratkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar tadi bahwa ia Matrukul hadits (ditinggal haditsnya karena dituduh berdusta). Inilah yang benar, seperti juga dinyatakan oleh Ibnu Ma'in : "Ia sama sekali tak bisa dipercaya". Al-Jauzajani menyatakan : "Jatuh martabatnya" (celaan yang keras). Bahkan Syu'bah menganggapnya berdusta dalam satu kisah. Imam Al-Bukhari berkomentar :"Dia tak dianggap para ulama". Padahal Al-Hafizh Ibnu Katsir menjelaskan dalam "Ikhti-shar 'Ulumi Al-Hadits" (hal 118) :"Orang yang dikomentari oleh Al-Bukhari dengan ucapan beliau seperti tadi, berarti sudah terkena celaan yang paling keras dan buruk, menurut versi beliau". Oleh sebab itu, saya menganggap hadits ini dalam kategori Hadits Maudhu' alias palsu. Disebabkan (disamping kelemahannya) ia bertentangan dengan hadits 'Aisyah dan Jabir yang terdahulu sebagaimana tadi diungkapkan oleh Al-Hafizh Az-Zaila'i dan Al-Asqalani. Imam Al-Hafidz Adz-Dzahabi juga memaparkan hadits-haditsnya yang munkar. Al-Faqih Ibnu Hajar Al-Haitami menyatakan dalam "Al-Fatawa Al-Kubra" (I : 195) setelah beliau menyebutkan hadits ini.

"Hadits ini sungguh amat dha'if ; para ulama telah bersikap keras terhadap salah seorang perawinya, dengan celaan dan hinaan. Diantara bentuk celaan dan hinaan itu (dalam kaedah ilmu hadits) : Ia perawi hadits-hadits palsu, seperti hadits yang berbunyi : "Umat ini hanya akan binasa di Aadzar (nama tempat) " juga hadits : "Kiamat itu hanya akan terjadi di Aadzar ". Hadits-hadistnya yang berkenaan dengan masalah tarawih ini tergolong jenis hadits-hadits munkarnya. Imam As-Subki itu sendiri menjelaskan bahwa (diantara) persyaratan hadist dha'if untuk dapat diamalkan adalah ; hadits itu tak terlalu lemah sekali. Imam Adz-Dzahabi menyatakan : "orang yang dianggap berdusta oleh orang semisal Syu'bah, tak perlu ditoleh lagi haditsnya".

Saya mengatakan : "Apa yang dinukil beliau dari As-Subki itu mengandung isyarat lembut dari Al-Haitami bahwa beliau sendiri tak sependapat dengan mereka yang mengamalkan hadits tentang shalat tarawih 20 raka'at itu, simaklah".

Kemudian, setelah beliau menyebutkan hadits Jabir dari riwayat Ibnu Hibban, Imam As-Suyuthi berkomentar : "Kesimpulannya, riwayat tarawih 20 raka'at itu tak ada yang shahih dari perbuatan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Apa yang tersebut dalam riwayat Ibnu Hibban merupakan klimaks apa yang menjadi pendapat kami, karena (sebelumnya) kami telah berpegang dengan apa yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari 'Aisyah Radhiallahu 'anha, yaitu : Bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam baik dalam bulan Ramadhan maupun dalam bulan lainnya tak pernah shalat malam melebihi 11 raka'at. Kedua hadits itu (Hadits Riwayat Ibnu Hibban dan Al-Bukhari) selaras, karena disebutkan disitu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat delapan raka'at, lalu menutupnya dengan witir tiga raka'at, sehingga berjumlah 11 raka'at. Satu hal lagi yang menjadi dalil, bahwa Nabi apabila mengamalkan satu amalan, beliau selalu melestarikannya. Sebagaimana beliau selalu meng-qadha shalat sunnah Dhuhur sesudah Ashar ; padahal shalat waktu itu pada asalnya haram. Seandainya beliau telah mengamalkan shalat tarawih 20 raka'at itu, tentu beliau akan mengulanginya. Kalau sudah begitu, tak mungkin 'Aisyah tidak mengetahui hal itu, sehingga ia membuat pernyataan seperti tersebut tadi".

Saya mengatakan : "Ucapannya itu mengandung isyarat yang kuat bahwa beliau lebih memilih sebelas raka'at dan menolak riwayat yang 20 raka'at dari Ibnu Abbas karena terlalu lemah, coba renungkan".


--------------------------------------------------------------------------------

Disalin dari buku Shalatu At-Tarawih, edisi Indonesia Shalat Tarawih, Penyusun Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, terbitan Pustaka At-Tibyan hal. 28 - 36 Penerjemah Abu Umar Basyir Al-Maidani

--------------------------------------------------------------------------------

Foote Noote

1. Dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah (II/116/1), Muslim dan lain-lain : "Shalat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam baik pada bulan Ramadhan maupun pada bulan-bulan yang lain adalah tiga belas raka'at. Diantaranya dua raka'at fajar". Namun dalam riwayat lain yang dikeluarkan oleh Imam Malik (I : 142), juga oleh Al-Bukhari (III : 35) dan lain-lain, diceritakan bahwa 'Aisyah menuturkan :"Beliau shalat pada waktu malam tiga belas raka'at. Lalu bila datang adzan subuh memanggil, beliau shalat dua raka'at yang ringan". Al-Hafidzh Ibnu Hajar mengatakan : "Pada dzahirnya, hadits itu nampakl bertentangan dengan hadits terdahulu. Bisa jadi, 'Aisyah menggabungkan dengan dua raka'at shalat sesudah Isya, karena beliau memang melakukannya di rumah. Atau mungkin juga dengan dua raka'at yang dilakukan Nabi sebagai pembuka shalat malam. Karena dalam hadits shahih riwayat Muslim disebutkan bahwa beliau memang memulai shalat malam dengan dua raka'at ringan. Dan yang kedua ini lebih kuat, menurut hemat saya. Karena Abu Salamah yang mengkisahkan kriteria shalat beliau yang tak melebihi 11 raka'at dengan empat-empat plus tiga raka'at, hal itu jelas belum mencakup dua raka'at ringan (pembuka) tadi, dua raka'at itulah yang tercakup dalam riwayat Imam Malik. Sedangkan tambahan matan hadits dari seorang hafizh (seperti Malik) bisa diterima. Pendapat ini lebih dikuatkan lagi dengan apa yang tertera pada riwayat Ahmad dan Abu Dawud dari jalur riwayat Abdullah bin Abi Qais dari 'Aisyah Radhiallahu 'anha dengan lafazh : "Beliau melakukan witir tiga raka'at setelah shalat empat raka'at ; atau tiga setelah sepuluh. Dan beliau belum pernah berwitir -plus shalat malamnya- labih dari tiga belas raka'at. Dan juga tidak pernah kurang -bersama shalat malamnya- dari tujuh raka'at. Inilah riwayat paling shahih yang berhasil saya dapatkan dalam masalah itu. Dengan demikian, perselisihan seputar hadits 'Aisyah itu dapat disatukan".

Saya mengatakan : Adapun hadits Ibnu Abi Qais ini akan kembali disebutkan Insya Allah dalam bahasan "Dibolehkannya shalat malam kurang dari 11 raka'at (hal 81).

Penyelesaian yang dikemukakan oleh Ibnu hajar itu ditopang oleh riwayat Imam Malik yang secara lebih rinci menyebutkan dua raka'at ringan tersebut ; yaitu dari jalur hadits Zaid bin Khalid Al-Juhani bahwasanya ia berkata : "Aku betul-betul berhasrat menyelidiki shalat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada suatu malam. Beliau shalat terlebih dahulu dua raka'at ringan. Kemudian beliau shalat dua raka'at panjang, lalu dua raka'at panjang, lalu dua raka'at panjang. Dua raka'at yang kedua tidak sepanjang yang pertama. Demikian juga yang ketiga tak sepanjang yang kedua. Yang keempat juga tak sepanjang yang ketiga. Setelah itu beliau menutup dengan witir. Semuanya berjumlah tiga belas raka'at.

[Diriwayatkan oleh Imam Malik (I:143-144), Muslim (II:183), Abu 'Uwanah (II:319) Abu Dawud (I:215) dan Ibnu Nashar (hal.48]

Menurut hemat saya, ada kemungkinan dua raka'at disitu adalah shalat sunnah sesudah Isya. Bahkan itulah yang nampak (berdasarkan hukum) secara zhahir. Karena saya belum mendapatkan satu haditspun yang menyebutkan dua raka'at itu berseiringan dengan penyebutan raka'at yang tiga belas. Bahkan sebaliknya, saya justru mendapatkan riwayat yang menopang apa yang saya perkirakan. Yaitu hadits Jabir bin Abdullah, dimana beliau menyampaikan :"Dahulu kami bersama-sama beranjak dengan Rasulullah dari Hudaibiyyah. Tatkala kami sampai di Suqya (yaitu perkampungan antara Mekkah dan Madinah), tiba-tiba beliau berhenti -dan jabir kala itu disampingnya- lalu melakukan shalat isya' kemudian setelah itu beliau shalat tiga belas raka'at" (hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Nashar (hal 48). Hadits ini juga sebagai nash yang jelas, bahwa shalat sunnah 'Isya termasuk hitungan yang tiga belas tadi. Seluruh perawi hadits tersebut tsiqah (terpercaya), selain Syurahbil bin Sa'ad. Dia memiliki kelemahan.

2. Yakni dengan satu kali salam. Imam Nawawi dalam ''Syarhu Muslim" menyebutkan :"Hadits ini menunjukkan bolehnya shalat dengan hitungan itu. Adapun yang dikenal dari perbuatan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahkan beliau memerintahkan, yaitu agar shalat malam itu dibuat dua-dua (raka'at).

Saya mengatakan : Yang dinyatakan oleh beliau itu sungguh benar adanya. Adapun pendapat madzhab Syafi'iyyah bahwa (Wajib kita bersalam pada setiap dua raka'at. Barangsiapa yang melakukannya dengan satu salam, maka tidak shah) sebagaimana tersebut dalam "Al-Fiqhu Ala Al-Madzahibi Al-Arba'ah" (I: 298) dan juga dalam "Syarhu Al-Qasthalani" Terhadap shahih Al-Bukhari (V : 4) dan lain-lain, pendapat itu jelas bertentangan dengan hadits shahih ini dan juga bersebrangan dengan pernyataan Imam An-Nawawi yang menyatakan dibolehkannya cara itu. Padahal beliau termasuk ulama besar dan alhi tahqiq (peneliti) dari kalangan Syafi'iyyah. maka jelas tak ada alasan bagi seseorang untuk menfatwakan hal yang sebaliknya.!

Rasulullah SAW bersabda: "Siapa yang membaca Al Quran, mempelajarinya dan mengamalkannya, maka dipakaikan mahkota dari cahaya pada hari Kiamat, cahayanya seperti cahaya matahari, kedua orang tuanya dipakaikan dua jubah (kemuliaan), yang tidak pernah didapatkan di dunia, keduanya bertanya: mengapa kami dipakaikan jubah ini: dijawab: "karena kalian berdua memerintahkan anak kalian untuk mempelajari Al Quran".

Hadits diriwayatkan oleh Al Hakim dan ia menilanya sahih berdasarkan syarat Muslim (1/568), dan disetujui oleh Adz Dzahabi. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya (21872) dan Ad Darimi dalam Sunannya (3257)

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang ada tanda-tanda bagi orang yang berakal. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah dalam keadaan berdiri atau duduk atau berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata: Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka'' (Ali 'Imran: 190-191).

Rasullullah berkata: "Alangkah rugi dan celakanya orang-orang yang membaca ini dan tidak memikir dan merenungkan kandungan artinya"

"Maka mengapakah mereka tidak mau mentadabburi al-Qur'an? Apakah karena hati mereka terkunci mati?" (QS 47:24)

"Dan Kami turunkan dari Alquran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.".(Al-Israa':82)

"Dan apabila dibacakan Al quran, maka dengarkanlah baik-baik,
dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat".(QS. 7:204)

Dari Umar bin al Khatthab ra, (Riwayat Muslim). bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda

"Sesungguhnya Allah mengangkat (martabat) sebagian orang dan merendahkan sebagian lainnya dengan sebab Al Qur'an."

Bukhari meriwayatkan dalam kitab sahihnya dari Utsman r.a. bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda:
"Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al Quran dan mengajarkannya".

Oleh: Syaikh Salim bin 'Ied Al-Hilaaly
Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid

Banyak perbuatan yang harus dijauhi oleh orang yang puasa, karena kalau perbuatan ini dilakukan pada siang hari bulan Ramadhan akan merusak puasanya dan akan berlipat dosanya. Perkara-perkara tersebut adalah.

1. Makan dan Minum Dengan Sengaja
Allah Azza Sya'nuhu berfirman.
"Artinya : Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam" [Al-Baqarah : 187]
Difahami bahwa puasa itu (mencegah) dari makan dan minum, jika makan dan minum berarti telah berbuka, kemudian dikhususkan kalau sengaja, karena jika orang yang puasa melakukannya karena lupa, salah atau dipaksa, maka tidak membatalkan puasanya. Masalah ini berdasarkan dalil-dalil.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Jika lupa hingga makan dan minum, hendaklah menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah yang memberinya makan dan minum" [Hadits Riwayat Bukhari 4/135 dan Muslim 1155]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Allah meletakkan (tidak menghukum) umatku karena salah atau lupa dan karena dipaksa" [1]

2. Muntah Dengan Sengaja
Karena barangsiapa yang muntah karena terpaksa tidak membatalkan puasanya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Barangsiapa yang terpaksa muntah, maka tidak wajib baginya untuk mengqadha' puasanya, dan barangsiapa muntah dengan sengaja, maka wajib baginya mengqadha' puasanya" [2]

3. Haidh dan Nifas
Jika seorang wanita haidh atau nifas, pada satu bagian siang, baik di awal ataupun di akhirnya, maka mereka harus berbuka dan mengqadha' kalau puasa tidak mencukupinya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Bukankah jika haid dia tidak shalat dan puasa ? Kami katakan : "Ya", Beliau berkata : 'Itulah (bukti) kurang agamanya" [Hadits Riwayat Muslim 79, dan 80 dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah]
Dalam riwayat lain.
"Artinya : Berdiam beberapa malam dan berbuka di bulan Ramadhan, ini adalah (bukti) kurang agamanya"
Perintah mengqadha' puasa terdapat dalam riwayat Mu'adzah, dia berkata.
"Artinya : Aku pernah bertanya kepada Aisyah : ' Mengapa orang haid mengqadha' puasa tetapi tidak mengqadha shalat?' Aisyah berkata : 'Apakah engkau wanita Haruri[3], Aku menjawab : 'Aku bukan Haruri, tapi hanya (sekedar) bertanya'. Aisyah berkata : 'Kamipun haidh ketika puasa, tetapi kami hanya diperintahkan untuk mengqadha puasa, tidak diperintahkan untuk mengqadha' shalat" [Hadits Riwayat Bukhari 4/429 dan Muslim 335]

4. Suntikan Yang Mengandung Makanan
Yaitu menyalurkan zat makanan ke perut dengan maksud memberi makan bagi orang sakit. Suntikan seperti ini membatalkan puasa, karena memasukkan makanan kepada orang yang puasa [4] Adapun jika suntikan tersebut tidak sampai kepada perut tetapi hanya ke darah, maka itupun juga membatalkan puasa, karena cairan tersebut kedudukannya menggantikan kedudukan makanan dan minuman. Kebanyakan orang yang pingsan dalam jangka waktu yang lama diberikan makanan dengan cara seperti ini, seperti jauluz dan salayin, demikian pula yang dipakai oleh sebagian orang yang sakit asma, inipun membatalalkan puasa.

5. Jima'
Imam Syaukani berkata (Dararul Mudhiyah 2/22) : "Jima' dengan sengaja, tidak ada ikhtilaf (perbedaan pendapat) padanya bahwa hal tersebut membatalkan puasa, adapaun jika jima' tersebut terjadi karena lupa, maka sebagian ahli ilmu menganggapnya sama dengan orang yang makan dan minum dengan tidak sengaja"

Ibnul Qayyim berkata (Zaadul Ma'ad 2/66) : "Al-Qur'an menunjukkan bahwa jima' membatalkan puasa seperti halnya makan dan minum, tidak ada perbedaan pendapat akan hal ini".

Dalilnya adalah firman Allah.
"Artinya : Sekarang pergaulilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian" [Al-Baqarah : 187]
Diizinkannya bergaul (dengan istri) di malam hari, (maka bisa) difahami dari sini bahwa puasa itu dari makan, minum dan jima'. Barangsiapa yang merusak puasanya dengan jima' harus mengqadha' dan membayar kafarat, dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu (dia berkata) :

"Pernah datang seseorang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian ia berkata, 'Ya Rasulullah binasalah aku!' Rasulullah bertanya, 'Apa yang membuatmu binasa?' Orang itu menjawab, 'Aku menjimai istriku di bulan Ramadhan'. Rasulullah bersabda, 'Apakah kamu mampu memerdekakan seorang budak?' Orang itu menjawb, 'Tidak'. Rasulullah bersabda, 'Apakah engkau mampu memberi makan enam puluh orang miskin?' Orang itu menjawab, 'Tidak' Rasulullah bersabda, 'Duduklah'. Diapun duduk. Kemudian ada yang mengirim satu wadah korma kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah bersabda, 'Bersedekahlah', Orang itu berkata, 'Tidak ada di antara dua kampung ini keluarga yang lebih miskin dari kami'. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun tertawa hingga terlihat gigi serinya, lalu beliau bersabda, 'Ambillah, berilah makan keluargamu" [5]


--------------------------------------------------------------------------------

Disalin dari Kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, edisi Indonesia Sipat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata.

--------------------------------------------------------------------------------

Foote Note.
Hadits Riwayat Thahawi dalam Syrahu Ma'anil Atsar 2/56, Al-Hakim 2/198, Ibnu Hazm dalam Al-Ihkam 5/149, Ad-Daruquthni 4/171 dari dua jalan yaitu dari Al-Auza'i dari Atha' bin Abi Rabah dari Ubaid bin Umar, dari Ibnu Abbas, sanadnya Shahih
Hadits Riwayat Abu Dawud 2/310, Tirmidzi 3/79, Ibnu Majah 1/536, Ahmad 2/498 dari jalan Hisyam bin Hasan, dari Muhammad bin Sirin, dari Abu Hurairah, sanadnya Shahih sebagaimana yang diucapkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Haqiqtus Shyam halaman 14.
Al-Haruri nisbat kepada Harura' (yaitu) negeri yang jaraknya 2 mil dari Kufah, orang yang beraqidah Khawarij disebut Haruri karena kelompok pertama dari mereka yang memberontak kepada Ali di negeri tersebut, hingga dinisbatkan di sana. Demikian dikatakan oleh Al-Hafidz dalam Fathul Bari 4/424, dan lihat A Lubab 1/359 karya Ibnu Atsir. Mereka orang-orang Haruriyah mewajbkan wanita-wanita yang telah suci daari Haid untuk mengqadha shalat yang terluput semasa haidnya. Aisyah khawatir Mu'adzah menerima pertanyaan dari Khawrij, yang mempunyai kebiasaan menentang sunnah dengan pikiran mereka, orang-orang seperti mereka pada zaman ini banyak, Lihat pasal At-Tautsiq 'anillah wa ra rasuluhi dari tuliasan Dirasat Manhajiyat fi Aqidah As-Salafiyah karya Salim Al-Hilaly
Lihat Haqiqatus Shiyam halaman 15, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Hadits Shahih dengan berbagai lafadz yang berbeda dari Bukhari 11/516, Muslim 1111, Tirmidzi 724, Baghwai 6/288, Abu Dawud 2390, Ad-Darimi 2/11, Ibnu Majah 1617, Ibnu Abi Syaibah 2/183-184, Ibnu Khuzaimah 3/216, Ibnul Jarud 139, Syafi'i 199, Malik 1/297, Abdur Razak 4/196, sebagian memursalkan, sebagian riwayat mereka ada tambahan :"Qadhalah satu hari sebagai gantinya". Dishahihkan oleh Al-Hafidz dalam Fathul Bari 11/516, memang demikian.

KAFARAT

Oleh Syaikh Salim bin 'Ied Al-Hilaaly
Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid

1. Kafarat Bagi Laki-Laki Yang Menjima'i Isterinya
Telah lewat hadits Abu Hurairah, tentang laki-laki yang menjima'i isterinya di siang hari bulan Ramadhan, bahwa dia harus mengqadha' puasanya dan membayar kafarat yaitu : membebaskan seorang budak, kalau tidak mampu makan puasa dua bulan berturut-turut, kalau tidak mampu maka memberi makan enam puluh orang miskin.

Ada yang mengatakan : Kafarat jima' itu boleh dipilih secara tidak tertib (yaitu tidak urut seperti yang dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah, -ed), tetapi yang meriwayatkan dengan tertib (sesuai urutannya, -ed) perawinya lebih banyak, maka riwayatnya lebih rajih karena perawinya lebih banyak jumlahnya dan padanya terdapat tambahan ilmu, mereka sepakat menyatakan tentang batalnya puasa karena jima'. Tidak pernah terjadi hal seperti ini dalam riwayat-riwayat lain, dan orang yang berilmu menjadi hujjah atas yang tidak berilmu, yang menganggap lebih rajih yang tertib disebabkan karena tertib itu lebih hati-hati, karena itu berpegang dengan tertib sudah cukup, baik bagi yang menyatakan boleh memilih atau tidak, berbeda dengan sebaliknya.

2. Gugurnya Kafarat
Barang siapa yang telah wajib membayar kafarat, namun tidak mampu mebebaskan seorang budak ataupun puasa (dua bulan berturut-turut) dan juga tidak mampu memberi makan (enam puluh orang miskin), maka gugurlah kewajibannya membayar kafarat, karena tidak ada beban syari'at kecuali kalau ada kemampuan.

Allah berfirman.
"Artinya : Allah tidak membebani jiwa kecuali sesuai kemampuan" [Al-Baqarah : 286]
Dan dengan dalil Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menggugurkan kafarat dari orang tersebut, ketika mengabarkan kesulitannya dan memberinya satu wadah korma untuk memberikan keluarganya.

3. Kafarat Hanya Bagi Laki-Laki
Seorang wanita tidak terkena kewajiban membayar kafarat, karena ketika dikhabarkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam perbuatan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan, beliau hanya mewajibkan satu kafarat saja.

Wallahu 'alam

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Penyayang

Segala puji milik Allah Subhanahu wata'ala, selawat dan salam buat junjungan kita Nabi Muhammad Sallaahu 'alaihi wasallam serta para sahabatnya.

SEJAK beberapa tahun kebelakangan ini satu hadis tentang kelebihan Tarawih pada malam-malam Ramadan telah tersebar dengan meluas sekali. Media elektronik, cetak serta media massa lain turut memainkan peranan
menyebarkannya melalui akhbar, dairi Islam, TV, radio, risalah dan lain-lain dengan harapan semoga mereka mendapat saham dalam usaha menggalakkan umat Islam supaya rajin beramal ibadat, terutamanya dalam bulan yang diberkati itu. Hadis yang dimaksudkan itu ialah satu hadis yang agak panjang kononnya diriwayatkan oleh Ali r.a. yang sebahagian darinya adalah seperti berikut,
Diriwayatkan oleh Ali bahawa Rasulullah s.a.w. telah bersabda berkenaan dengan fadilat sembahyang Tarawih pada bulan Ramadan antaranya:

Malam Pertama: Keluar dosa-dosa orang mukmin pada malam pertama seperti mana dia baru dilahirkan (mendapat keampunan dari Allah Taala).

Malam Keempat: Mendapat pahala sebagaimana pahala orang-orang yang membaca kitab Taurat, Zabur, Injil dan Al-Quran.

Malam Keenam: Allah kurniakan pahala kepadanya pahala malaikat-malaikat yang tawaf di Baitul-Ma`mur (sebanyak 70 ribu malaikat sekali tawaf), serta setiap batu-batu dan tanah akan mendoakan supaya Allah mengampuni dosa-dosa orang yang mengerjakan sembahyang tarawih pada malam ini.

Malam Ketujuh: Seolah-olah dia dapat bertemu serta menolong Nabi Musa A.S. menentang musuh ketatnya Firaun dan Haman.

Malam Kelapan: Allah mengurniakan pahala orang sembahyang tarawih sepertimana yang telah dikurniakan kepada Nabi Ibrahim A.S.

Malam kesembilan: Allah kurniakan pahala dan dinaikkan mutu ibadat hambanya seperti Nabi Muhammad S.A.W.

Dan kelebihan-kelebihan seterusnya sehingga sampai kemalam yang ke-tiga puluh

Namun begitu setelah diajukan pertanyaan kepada beberapa tokoh agama tanah air mengenai kedudukan hadis ini, dari manakah ianya diambil, semuanya tidak dapat memberikan penjelasan. Dan setelah diteliti dalam kitab induk hadis seperti Sunan Sittah dan lain-lain kitab hadis lagi, ianya tidak ditemui. Begitu juga dalam kitab-kitab hadis palsu (maudhu`aat) sendiri pun tidak didapati hadis ini. Ini menunjukkan bahawa hadis ini merupakan satu hadis yang baru diada-adakan sehingga ulama-ulama hadis dahulu yang menulis tentang hadis maudhu` pun tidak mengetahui akan wujudnya hadis ini. Kita tidak menafikan kelebihan sembahyang Tarawih dan kedudukannya dalam sunnah. Namun begitu kita tidak mahu umat Islam tertipu dengan berbagai-bagai janji
palsu yang menyebabkan umat Islam mengerjakan amalan kebaikan dengan mengharapkan sesuatu yang sebenarnya tidak akan diperolehinya. Dengan tersebarnya hadis-hadis palsu seumpama ini juga akan mencemarkan kesucian hadis Rasulullah s.a.w. yang dipelihara dengan dengan begitu baik oleh ulama kita dahulu.

Rasulullah S.A.W. telah pun memberikan amaran terhadap orang-orang yang mengadakan pendustaan atas namanya dengan ancaman yang berat sebagaimana sabdanya: Barang siapa sengaja mengadakan dusta atas namaku maka hendaklah dia menyediakan tempatnya dalam neraka. (Bukhori, Muslim)

Hadis ini diriwayatkan dengan banyak sekali sehingga sampai keperingkat Mutawatir. Ancaman ini merangkumi segala jenis pendustaan keatas Nabi S.A.W. sama ada dengan maksud memberi galakan supaya rajin beramal ibadat ataupun ancaman supaya menjauhi segala larangan Allah (targhib dan tarhib).

Mulla Ali Qari dalam Al-Asrarul-Marfu'ah selepas membawakan lebih dari seratus riwayat hadis mengenai pendustaan atas nama Nabi Muhammad s.a.w. menukilkan kata-kata Imam Nawawi dalam syarah Muslim. Kata Imam Nawawi: Haram meriwayatkan sesuatu hadis palsu (maudhu`) bagi orang yang mengetahui bahwa hadis itu maudhu` atau dia hanya menyangka hadis ini maudhu`. Siapa yang menceritakan hadis yang dia tahu atau dia sangka bahawa ianya maudhu`serta dia tidak menerangkan keadaannya maka dia termasuk dalam ancaman ini.
Katanya lagi, tidak ada perbezaan dalam pengharaman pendustaan atas Nabi Muhammad s.a.w. di antara hadis tentang hukum-hukum dan hadis yang bukan berkenaan dengan hukum seperti hadis yang mengandungi dorongan serta galakan beramal ibadat, hadis-hadis nasihat dan lain-lain. Semuanya haram termasuk
dalam sebesar-besar dosa dan sejelek-jelek perkara dengan ijmak ulamak Islam... seterusnya dia berkata: Ulama sudahpun sepakat mengenai haram berdusta atas nama orang-orang biasa. Bagaimana pula dengan orang yang kata-katanya adalah syariat, kalamnya adalah wahyu dan berdusta atasnya adalah pendustaan atas Allah juga. Firman Allah bermaksud: Tidaklah dia mengucapkan mengikut kemahuan hawa nafsunya. Apa yang diucapkan tidak lain melainkan wahyu yang diwahyukan. (An-Najm: 3-4).

Di dalam hadis tersebut nampaknya ada galakan supaya umat Islam rajin untuk melakukan amalan Tarawih dalam bulan Ramadan seperti kita sering dapati hadis ancaman terhadap orang yang meninggalkan sembahyang yang sebenarnya hadis itu pun direka atas nama nabi Muhammad s.a.w. seperti contoh satu
hadis yang sebahagian darinya berbunyi: Jika seseorang itu meninggalkan sembahyang Zuhur dosanya adalah seperti dia berzina dengan ibunya sendiri. Jika dia meninggalkan sembahyang Asar dosanya adalah seperti meruntuhkan Kaabah.

Adakah tidak cukup dengan janji ganjaran dari Allah bagi orang yang menghidupkan malam Ramadan yang terdapat dalam kitab hadis shahih contohnya hadis yang bermaksud: Sesiapa yang menghidupkan malam Ramadan dengan penuh keimanan dan mengharapkan ganjaran dari Allah diampunkan dosa-dosanya yang
lalu. (Al-Bukhari)
Dan adakah tidak cukup dengan ancaman terhadap orang yang meninggalkan sembahyang yang terdapat dalam al-Quran antaranya firman Allah yang bermaksud: Apakah yang menyebabkan kamu dimasukkan ke dalam neraka saqar? Mereka menjawab: Kami dahulu termasuk orang yang tidak mengerjakan sembahyang. (Al-Muddatsir)

Sebenarnya bagi mereka yang suka menghidupkan malam Ramadan tidak mesti dengan adanya hadis rekaan yang seperti ini mereka akan bersungguh-sungguh dalam menghidupkan amalan Tarawih ini. Dan orang yang malas bersembahyang bawalah hadis yang bagaimana teruk sekalipun seksaannya, namun mereka tetap tidak mahu mengerjakannya.

Antara ciri-ciri hadis maudhu`(rekaan) dari segi zahirnya selain dari meneliti sanad perawinya ialah

1. Kelebihan yang disebutkan menyamai atau mengatasi kelebihan yang terdapat pada para sahabat nabi kita Muhammad s.a.w. atau orang yang berjuang bersama dengan nabi yang lain apatah lagi untuk menyamai atau mengatasi kedudukan nabi-nabi kerana umat yang datang kemudian walaupun setinggi-tinggi wali sekalipun tidak akan dapat mengatasi atau menyamai kedudukan sekecil-kecil sahabat apatah lagi untuk menyamai kedudukan seorang nabi.

2. Kelebihan yang terdapat didalamnya tidak sepadan dengan amalan yang dilakukan sedangkan ia menyalahi apa yang terdapat dalam syariat sebagaimana tersebut dalam Al-Qur'an dan hadis-hadis sahih.

3. Kandungannya serta ertinya rapuh, tidak menyerupai kalam Nabi Muhammad s.a.w. dan lafaznya tidak sesuai keluar dari mulut Nabi seperti yang terdapat dalam hadis-hadis sahih.

4. Dalam sesetengah risalah yang terdapat hadis ini, ianya dimulai dengan "Ya Ali" sedangkan ulama hadis sudah mengatakan bahawa hadis yang dimulai dengan kata-kata ini hanya dua atau tiga sahaja yang sahih. Yang lainnya palsu.

Oleh itu umat Islam sekalian, terutamanya pihak seperti institusi agama di peringkat negeri dan pusat, sepatutnya prihatin terhadap perkara seperti ini demi menjaga kesucian hadis Rasul yang menjadi pegangan Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Umat Islam janganlah mudah tertipu dengan dakyah palsu yang dikaitkan dengan Rasulullah sedangkan ianya tidak ada hubungan langsung dengan Rasulullah s.a.w. Janganlah sampai masyarakat kita melakukan sesuatu amalan dengan harapan akan mendapat pahala sedangkan sebaliknya dosa besar pula yang diperolehi dengan menyebarkan dan seterusnya beramal dengan
hadis-hadis palsu seperti ini. Diterbitkan dan diedar secara gratis oleh:

DARUL QURAN WAS-SUNNAH
Lot 1499, Taman Seri Demit, Jalan Sultanah Zainab 2
Kubang Kerian, 16150 Kota Bharu, Kelantan, Malaysia Tel: 09-7645816

Ada seorang wanita shahabat Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, namanya Ummu Humaid ingin mengikuti shalat bersama Rasul Shalallaahu alaihi wasalam di masjid Nabi, maka Rasulullah memberikan jawaban yang begitu indah dan berkesan,yang artinya, "Sungguh aku tahu, bahwa engkau senang shalat bersamaku, padahal shalatmu di dalam kamar lebih baik dari pada shalatmu di rumah, dan shalatmu di dalam rumah lebih baik dari pada shalatmu di masjid kampungmu, dan shalatmu dimasjid kampung lebih baik daripada shalatmu di masjidku ini." (HR. Ibnu Khuzaimah, di dalam shahihnya).

Hadits di atas barangkali memiliki korelasi yang erat dengan hadits lain riwayat Imam at-Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah, dari Ibnu Mas'ud Radhiallaahu anhu dari Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalambersabda, "Sesungguhnya wanita adalah aurat, apabila dia keluar, maka syetan menghiasnya. Dan sedekat-dekatnya seorang wanita kepada Tuhannya adalah tatkala ia berada di bagian paling tersembunyi di rumahnya."

Berdasarkan dua hadits di atas dapat diambil pengertian, bahwa pada dasarnya kondisi paling utama seorang wanita adalah tatkala berada di tempat yang paling tersembunyi, termasuk ketika melakukan shalat. Apabila seorang wanita ingin shalat berjama'ah -termasuk tarawih-, maka hendaknya memilih tempat tersendiri khusus untuk para wanita. Kalau mengharuskan shalat di masjid yang biasa digunakan shalat oleh kaum pria, maka hendaknya memperhatikan adab-adab dan
aturan ketika menuju ke sana. Karena tidak selayaknya seseorang ingin mencari pahala, namun dalam waktu bersamaan melakukan perbuatan yang dimurkai oleh Allah Subhannahu wa Ta'ala.

Di antara adab-adab yang perlu diperhatikan oleh seorang wanita ketika akan mendatangi masjid (khusus-nya shalat tarawih) adalah sebagai berikut:

Ikhlas

Hendaknya ketika berangkat ke masjid benar-benar ikhlas karena Allah. Bukan karena ingin bertemu dengan para wanita atau ibu-ibu yang lain, bukan karena ingin mendengarkan bacaan Imam, atau karena ikut-ikutan temannya. Hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah Subhannahu wa Ta'ala, (lihat di dalam surat al-Bayyinah ayat 5).

Dan juga sabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam yang artinya,"Barang siapa mendatangi masjid untuk tujuan tertentu, maka itulah yang menjadi bagiannya." (HR. Abu Daud)

Meminta Izin

Seorang wanita yang akan pergi ke masjid seharusnya meminta izin kepada ayah atau suaminya, berdasarkan hadits Nabi Shalallaahu alaihi wasalam dari Ibnu Umar Radhiallaahu anhu dia berkata, telah bersabda Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, artinya:

"Janganlah kalian melarang wanita untuk mendatangi masjid, bila mereka minta izin kepada kalian." (Shahih Muslim)

Di dalam riwayat yang Muslim yang lain disebutkan,"Apabila istri kalian meminta izin untuk pergi ke masjid, maka berilah mereka izin."

Jika telah mendapatkan izin, silakan ke masjid, namun jika tidak diizinkan janganlah berangkat, karena taat terhadap suami lebih didahulukan daripada ibadah sunnah, demikian pula seorang putri jika tidak diizinkan ayahnya.

Selayaknya seorang suami jangan melarang istrinya pergi ke masjid, bila telah meminta izin dengan baik-baik, kecuali jika ada kondisi yang tidak mengizinkan,seperti bahaya atau gangguan di jalanan. Namun para wanita juga harus
menyadari, bahwa shalat mereka di rumah adalah lebih utama, dan juga keluarnya mereka ke tempat umum justru terkadang menimbulkan fitnah atau dosa.

Berhijab/Menutup Aurat

Jangan sampai pergi ke masjid dalam kondisi tabarruj, yakni berdandan dan seronok, sengaja memancing perhatian, berpakaian ketat serta menampakkan perhiasan atau auratnya, sebab sekali lagi harus diingat, bahwa jika wanita keluar rumah, maka syetan menghiasnya, sehingga kelihatan menggoda dan menarik. Tabarruj adalah salah satu sifat wanita-wanita jahiliyyah yang tercela sebagaimana firman Allah Subhannahu wa Ta'ala , yang artinya:

"Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu bertabarruj (berhias dan bertingkah laku) seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu." (QS al-Ahzab: 33)

Syarat-syarat hijab adalah: Menutup seluruh tubuh, tidak membentuk lekuk tubuh, tidak pendek atau ketat, tidak transparan, bukan pakaian mewah untuk pamer,
tidak mengikuti mode wanita kafir, tidak menyerupai pakaian laki laki dan tidak bercorak menyolok atau bergambar makhluk hidup.

Tidak Memakai Parfum

Parfum merupakan salah satu penyebab fitnah dan kerusakan, bila salah dalam mempergunakannya. Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam telah melarang wanita yang menggunakan minyak wangi untuk menghadiri shalat Isya', sebagaimana dalam hadits riwayat Imam Muslim. Bukan sekedar itu saja, bahkan Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam memberikan peringatan lebih keras lagi dalam hal ini, sebagaimana sabda beliau Shalallaahu alaihi wasalam,

"Wanita mana saja yang menggunakan parfum lalu keluar ke masjid, maka shalatnyatidak di terima sebelum dia mandi." (HR. Al-Baihaqi).

Jika pergi ke masjid untuk ber-ibadah tidak boleh menggunakan parfum, maka apalagi jika perginya adalah ke tempat-tempat umum selain masjid, tentu lebih tidak boleh lagi!
Berdandan, menampakkan kecantikan dan menggunakan parfum untuk dipamerkan kepada laki-laki lain adalah kebiasaan para pelacur. Maka seorang wanita muslimah yang terhormat tidak boleh meniru-niru tingkah mereka, karena sangat beresiko dan dapat menjerumuskannya ke dalam maksiat.

Tidak Berkhalwat

Yakni tidak boleh jalan berduaan dengan laki-laki lain (bukan mahram) baik itu berjalan kaki maupun berduaan di dalam mobil, entah itu teman, tetangga atau
sopir pribadi sekalipun. Berdasarkan kepada hadits nabi Shalallaahu alaihi wasalam, "Jangan sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita,
kecuali wanita tersebut disertai mahramnya." (HR. Muslim dari Ibnu Abbas)Di dalam riwayat lain disebutkan, bahwa jika seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita, maka pihak ke tiganya adalah syetan.

Merendahkan Suara

Secara umum bukan hanya wanita saja yang diperintahkan untuk meren-dahkan suara dan tidak mengeraskannya, apalagi di dalam masjid. Allah Subhannahu wa Ta'ala
telah berfirman, yang artinya: "Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguh-nya seburuk-buruk suara ialah suara keledai." (QS. 31:19)

Dan bagi wanita, masalah ini lebih ditekankan lagi, sehingga wanita apabila mengingatkan imam yang lupa atau salah cukup dengan menepukkan telapak tangan kanan ke punggung tangan kiri, bukan bertasbih (mengucap subhanallah). Hendaknya wanita menjaga suaranya di hadapan kaum laki-laki, karena tidak seluruh laki-laki hatinya sehat, di antara mereka ada yang hatinya sakit, dalam arti mudah tergoda dengan suara wanita.

Pembicaraan seorang wanita hanya dibolehkan di dalam hal-hal yang memang mengharuskan, seperti jual beli, memberikan persaksian, menjawab salam dan semisalnya. Ini pun harus diperhatikan, agar jangan sampai melembutkan suara, atau sengaja dibuat-buat supaya menarik. Allah Subhannahu wa Ta'ala telah berfirman, yang artinya:

"Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertaqwa.Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara, sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya." (QS. 33:32)
Jika wanita-wanita suci semisal istri Nabi masih diperintahkan untuk demikian, maka selayaknya para muslimah juga mencontoh mereka.

Menundukkan Pandangan

Para wanita hendaknya menundukkan pandangan dari laki-laki lain yang bukan mahram sebagaimana firman Allah Subhannahu wa Ta'ala, yang artinya: "Katakanlah kepada wanita yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka." (QS. An-Nuur: 31)

Pandangan mata, sebagaimana dikatakan Ibnul Qayyim adalah cerminan hati, jika seorang hamba dapat menundukkan pandangannya, maka ia akan dapat menundukkan syahwat dan segala kemauannya. Sebaliknya jika pandangan dibiarkan dengan bebas dan leluasa, maka syahwat akan menguasai-nya.

Jarirz pernah bertanya kepada Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam tetang pandangan yang tidak di sengaja, maka beliau menjawab, "Palingkanlah pandanganmu." (HR Ahmad)

Dari Buraidah Radhiallaahu anhu, Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam pernah berkata kepada Ali Radhiallaahu anhu, "Wahai Ali jangan kau susul pandangan (pertama) dengan pandangan yang lain, karena untukmu han ya yang pertama, dan selebihnya bukan buatmu." (HR. Ibnu Abdul Barr)

Hindari Ikhtilath

Jangan sampai terjadi ikhtilath (campur baur) laki-laki dan perempuan, baik ketika di jalan, ketika masuk masjid maupun ketika bubar dari masjid.

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan al-Baihaqi, dengan sanad hasan dari Hamzah bin Usaid dari ayahnya, bahwa dia mendengar Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda sedang beliau berada di luar masjid, dan kaum pria saat itu bercampur dengan kaum wanita di jalan, maka beliau pun bersabda kepada para wanita, "Menepilah kalian, sesungguhnya kalian tidak ada hak di tengah jalan, hendaklah kalian semua berjalaan di tepian." (HR. Abu Daud dan Baihaqi). Maka seketika itu para wanita menepi ke tembok.

Tidak Menelantarkan Anak-anak.

Termasuk tanggung jawab terbesar seorang wanita (ibu) adalah mendidik dan mengawasi anak, dan kelak dia akan ditanya oleh Allah tentang tanggung jawab ini. Apabila kepergian seorang wanita ke masjid dengan menelantarkan anak-anak, seperti menyerahkan kepada pembantu yang kurang baik akhlaknya, atau menjadikan anak pergi leluasa bergaul dengan teman-teman yang buruk, maka hal itu tidak dibenarkan. Karena mencegah sesuatu yang buruk (terlan-tarnya anak) lebih di dahulukan daripada mencari manfaat (tarawih di masjid).

Menjaga Adab di Masjid

Masjid adalah rumah Allah dan tempat yang sangat mulia, ketika seseorang akan memasukinya, maka harus memperhatikan dan manjaga adab-adab ketika berada di dalamnya. Di antara yang perlu diperhatikan adalah:
a. Menjaga kebersihan dan jangan sampai membuang kotoran di dalam masjid.

b.Tidak mendatangi masjid ketika habis makan bawang (jengkol, petai dan semisalnya)

c.Tidak meludah di masjid, jika terpaksa hendaknya meludah di tissu, sapu tangan atau pakaian, dan jangan meludah ke arah kiblat.
d.Mengawasi anak-anak agar jangan merobek atau melempar-lempar mushhaf.

e.Jangan memasukkan gambar-gambar makhluk bernyawa ke dalam masjid, baik berupa motif baju anak, mainan, majalah dan lain-lain. Demikian semoga bermanfaat bagi kita semuanya.

Diringkas dari: "Al-Muntaqa min Adab Shalat at-Tarawih Linnisaa", Husain bin
Ali asy Syaqrawi.

Oleh Syaikh Salim bin 'Ied Al-Hilaaly
Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid

Seorang hamba yang taat serta paham Al-Qur'an dan Sunnah tidak akan ragu bahwa Allah menginginkan kemudahan bagi hamba-hamba-Nya dan tidak menginginkan kesulitan. Allah dan Rasul-Nya telah membolehkan beberapa hal bagi orang yang puasa, dan tidak menganggapnya suatu kesalahan jika mengamalkannya. Inilah perbuatan-pebuatan tersebut beserta dalil-dalilnya.

1. Memasuki Waktu Subuh Dalam Keadaan Junub
Di antara perbuatan Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah masuk fajar dalam keadaan junub karena jima' dengan isterinya, beliau mandi setelah fajar kemudian shalat.

Dari Aisyah dan Ummu Salamah Radhiyallahu 'anhuma.
"Artinya : Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memasuki waktu subuh dalam keadaan junub karena jima' dengan isterinya, kemudian ia mandi dan berpuasa" [Hadits Riwayat Bukhari 4/123, Muslim 1109]

2. Bersiwak

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya aku suruh mereka untuk bersiwak setiap kali wudlu" [Hadits Riwayat Bukhari 2/311, Muslim 252 semisalnya]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengkhususkan bersiwak untuk orang yang puasa ataupun yang lainnya, hal ini sebagai dalil bahwa bersiwak itu diperuntukkan bagi orang yang puasa dan selainnya ketika wudlu dan shalat. [Inilah pendapat Bukhari Rahimahullah, demikian pula Ibnu Khuzaimah dan selain keduanya. Lihat Fathul Bari 4/158, Shahih Ibnu Khuzaimah 3/247, Syarhus Sunnah 6/298]

Demikian pula hal ini umum di seluruh waktu sebelum zawal (tergelincir matahari) atau setelahnya. Wallahu 'alam.

3. Berkumur dan Istinsyaq
Karena beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkumur dan beristinsyaq (memasukkan air ke hidung) dalam keadan puasa, teta[i melarang orang yang berpuasa berlebihan ketika beristinsyaq.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : ... Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq kecuali dalam keadaan puasa" [1]

4. Bercengkrama dan Mencium Isteri
Aisyah Radhiyallahu 'anha pernah berkata.
"Artinya : Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mencium dalam keadaan berpuasa dan bercengkrama dalam keadaan puasa, akan tetapi beliau adalah orang yang paling bisa menahan diri" [Hadits Riwayat Bukhari 4/131, Muslim 1106]
"Kami pernah berada di sisi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, datanglah seorang pemuda seraya berkata, "Ya Rasulullah, bolehkah aku mencium dalam keadaan puasa ?" Beliau menjawab, "Tidak". Datang pula seorang yang sudah tua dan dia berkata : "Ya Rasulullah, bolehkah aku mencium dalam keadaan puasa ?". Beliau menjawb : "Ya" sebagian kami memandang kepada teman-temannya, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Sesungguhnya orang tua itu (lebih bisa) menahan dirinya".[2]

5. Mengeluarkan Darah dan Suntikan Yang Tidak Mengandung Makanan[3]
Hal ini bukan termasuk pembatal puasa, lihat pada pembahasan halaman 50.

6. Berbekam

Dahulu berbekam merupakan salah satu pembatal puasa, namun kemudian dihapus dan telah ada hadits shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau berbekam ketika puasa. Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma.
"Artinya : Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berbekam, padahal beliau sedang berpuasa" [Hadits Riwayat Bukhari 4/155-Fath, Lihat Nasikhul Hadits wa Mansukhuhu 334-338 karya Ibnu Syahin]

7. Mencicipi Makanan

Hal ini dibatasi, yaitu selama tidak sampai di tenggorokan berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma.
"Artinya : Tidak mengapa mencicipi sayur atau sesuatu yang lain dalam keadaan puasa, selama tidak sampai ke tenggorokan" [Hadits Riwayat Bukhari secara mu'allaq 4/154-Fath, dimaushulkan Ibnu Abi Syaibah 3/47, Baihaqi 4/261 dari dua jalannya, hadits ini Hasan. Lihat Taghliqut Ta'liq 3/151-152]

8. Bercelak, Memakai Tetes Mata dan Lainnya yang Masuk ke Mata
Benda-benda ini tidak membatalkan puasa, baik rasanya yang dirasakan di tenggorokan atau tidak. Inilah yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam risalahnya yang bermanfaat dengan judul Haqiqatus Shiyam serta murid beliau yaitu Ibnul Qayim dalam kitabnya Zadul Ma'ad, Imam Bukhari berkata dalam shahhihnya[4] : "Anas bin Malik, Hasan Al-Bashri dan Ibrahim An-Nakha'i memandang, tidak mengapa bagi yang berpuasa".

9. Mengguyurkan Air ke Atas Kepala dan Mandi
Bukhari menyatakan dalam kitab Shahihnya[5] Bab : Mandinya Orang Yang Puasa, Umar membasahi [6] bajunya kemudian dia memakainya ketika dalam keadaan puasa. As-Sya'bi masuk kamar mandi dalam keadaan puasa. Al-Hasan berkata : "Tidak mengapa berkumur-kumur dan memakai air dingin dalam keadaan puasa".

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengguyurkan air ke kepalanya dalam keadaan puasa karena haus atau kepanasan. [7]

________________________________________
Disalin dari Kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, edisi Indonesia Sipat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata.
________________________________________
Foote Note.
1. Hadits Riwayat Tirmidzi 3/146, Abu Daud 2/308, Ahmad 4/32, Ibnu Abi Syaibah 3/101, Ibnu Majah 407, An-Nasaai no. 87 dari Laqith bin Shabrah, sanadnya SHAHIH.
2. Hadits Riwayat Ahmad 2/185,221 dari jalan Ibnu Lahi'ah dari yazid bin Abu Hubaib dari Qaushar At-Tufibi darinya. Sanadnya dhaif karena dhaifnya Ibnu Lahi'ah, tetapi punya syahid (pendukung) dalam riwayat Thabrani dalam Al-Kabir 11040 dari jalan Habib bin Abi Tsabit dari Mujahid dari Ibnu Abbas, Habib seorang mudallis dan telah 'an-'anah, dengan syahid ini haditsnya menjadi hasan, lihat Faqih Al-Mutafaqih 192-193 karena padanya terdapat hadits dari jalan-jalan yang lain.
3. Lihat Risalatani Mujizatani fiz Zakati washiyami hal.23 Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah.
4. (4/153-Fath) hubungkan dengan Mukhtashar Shahih Bukhari 451 karya Syaikh kami Al-Albani Rahimahullah, dan Taghliqut Ta'liq 3/151-152.
5. Lihat maraji' di atas
6. Membasahi dengan air untuk mendinginkan badannya karena haus ketika puasa.
7. Hadits Riwayat Abu Daud 2365, Ahmad 5/376,380,408,430 sanadnya shahih

APAKAH KELUAR DARAH DARI YANG HAMIL TERMASUK YANG MEMBATALKAN SHAUM

Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Pada bulan Ramadhan yang mulia saya sedang keadaan hamil dan saya mengeluarkan darah pada tanggal dua puluhnya, walaupun demikian saya tetap berpuasa kecuali selama empat hari ketika saya di rumah sakit. Setelah Ramadhan saya mengqadha puasa saya yang empat hari itu, apakah saya harus berpuasa lagi sedangkan saya masih mengandung .?

Jawaban
Puasa Anda saat hamil yang disertai dengan keluarnya darah adalah sah, darah itu tidak mempengaruhi puasa Anda sebab darah itu adalah istihadhah, sedangkan puasa yang Anda tinggalkan selama empat hari itu karena dirawat di rumah sakit lalu Anda mengqadhanya setelah Ramadhan sudah cukup, Anda tidak perlu mengqadha puasa itu untuk kedua kalinya. [Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta, 10/225, fatwa nomor 13168]

SUAMI MENCIUM DAN MENCUMBUI ISTRINYA DI SIANG HARI RAMADHAN

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya : Jika seorang pria mencium istrinya di bulan Ramadhan atau mencumbuinya, apakah hal itu akan membatalkan puasanya atau tidak .?

Jawaban
Suami yang mencium istrinya dan mencumbuinya tanpa menyetubuhinya dalam keadaan berpuasa, adalah dibolehkan dan tidak berdosa, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mencium istrinya dalam keadaan berpuasa, dan pernah juga beliau mencumbui istrinya dalam keadaan berpuasa. Akan tetapi jika dikhawatirkan dapat terjadi perbuatan yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta'ala karena perbuatan itu dapat membangkitkan syahwat dengan cepat, maka hal demikian menjadi makruh hukumnya. Jika mencium dan mencumbui menyebabkan keluarnya mani, maka ia harus terus berpuasa dan harus mengqadha puasanya itu tapi tidak wajib kaffarah baginya menurut sebagian besar pendapat ulama, sedangkan jika mengakibatkan keluarnya madzi maka hal itu tidak membatalkan puasanya menurut pendapat yang paling benar diantara dua pendapat ulama, karena pada dasarnya hal tersebut tidak membatalkan puasa dan memang hal tersebut sulit untuk dihindari. [Fatawa Ad-Da'wah, Syaikh Ibnu Baaz, 2/164]

MENCAMPURI ISTRI DI SIANG HARI RAMADHAN

Pertanyaan
Syaikh Muhamad Shalih Al-Utsaimin ditanya : Saya seorang pemuda, saya pernah mencampuri istri saya di siang hari Ramadhan, apakah saya harus membeli kurma untuk saya sedekahkan .?

Jawaban
Jika ia seorang pemuda maka berarti ia sanggup untuk berpuasa selama dua bulan berturut-turut, kita memohon kepada Allah agar pemuda itu diberi kekuatan untuk melaksanakan puasa selama dua bulan itu. Jika seorang telah bertekad keras untuk melaksanakan suatu pekerjaan maka hal itu akan mudah dikerjakannya, dan sebaliknya jika dirinya telah diliputi rasa malas maka perbuatan itu akan terasa berat sehingga hal tersebut akan mempersulit dirinya dalam melaksanakannya. Kita harus mengucapkan puji dan syukur kepada Allah, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menetapkan sesuatu yang harus kita kerjakan di dunia yang dapat menghindarkan diri kita dari siksa Akhirat. Maka kepada pemuda ini kami katakan : Hendaklah Anda berpuasa selama dua bulan penuh berturut-turut, jika cuaca panas dan siang hari panjang, maka Anda mempunyai kesempatan menundanya hingga musim dingin. Hal yang sama diberlakukan pula pada pihak wanita yaitu istri Anda jika ia turut serta secara rela, namun jika si istri melakukan ha itu dengan terpaksa dan tak ada kesempatan untuk menghindar, maka puasa wanita itu sah sehingga tidak perlu mengqadhanya dan tidak perlu melaksanakan kaffarah. [Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/60]

MENGAULI ISTRI PADA SIANG HARI RAMADHAN

Pertanyaan
Syaih Shalih Al-Fauzan ditanya : Seorang pria menggauli istrinya pada siang hari Ramadhan selama tiga hari berturut-turut, apa yang harus ia lakukan ..?

Jawaban
Jika seorang yang berpuasa bersetubuh saat berpuasa, maka ia telah melakukan dosa besar, wajib baginya untuk bertobat kepada Allah dari dosa yang ia lakukan itu dan mengqadha puasanya itu. Disamping itu wajib baginya untuk melaksanakan kaffarah (memenuhi tebusan) yaitu memerdekakan hamba sahaya, jika tidak bisa maka ia harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut, jika tidak sanggup maka ia harus memberi makan kepada enam puluh orang miskin, setiap orang miskin mendapatkan setengah sha' makanan pokok. Kaffarah itu dilakukan sesuai dengan jumlah hari yang ia gunakan untuk bersetubuh yaitu setiap satu hari satu Kaffarah tersendiri. Wallahu a'lam [Kitab Al-Muntaqa min Fatawa ASy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, 1/116]


MENCAMPURI ISTRI TANPA MENGELUARKAN MANI


Pertanyaan
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya : Seorang pria menyetubuhi istrinya pada siang hari Ramadhan tanpa mengeluarkan mani, bagaimana hukumnya ..? Dan bagaimana pula hukumnya jika istri tidak mengerti hal itu .?

Jawaban
Bersetubuh di siang hari Ramadhan saat suami berpuasa dan tidak dalam perjalanan maka dia dikenakan Kaffarah, yaitu memerdekakan hamba sahaya, jika hal itu tidak didapatkan dipenuhi maka ia harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut, jika hal itu tidak sanggup dilakukan maka ia harus memberi makan kepada enam puluh orang miskin. Kaffarah yang sama juga dikenakan bagi istrinya, jika ia melakukan hal itu dengan rela, namun jika dilakukan dengan terpaksa maka wanita itu tidak dikenakan apapun. Adapun bila keduanya itu dalam keadaan musafir maka tak ada dosa, tak ada kaffarah dan tidak perlu berpuasa pada sisa hari itu melainkan keduanya harus mengqadha puasa hari itu saja, karena orang musafir tidak diwajibkan untuk berpuasa. begitu pula bagi orang yang tidak melakukan puasa karena keadaan darurat, seperti menolong orang dari kebinasaan, jika ia bersetubuh pada saat tidak berpuasa karena sebelumnya ia tidak berpuasa karena menolong seseorang, maka hal itu tidak mengapa, karena saat itu adalah saat yang tidak merusak puasa wajib karena sedang tidak berpuasa. Tapi bila seseorang tengah berpuasa dan muqim (bukan musafir) jika bersetubuh maka ia dikenakan lima hal yaitu :
Berdosa
Puasanya rusak
Wajib meneruskan puasa hari itu
Wajib mengqadha puasa hari itu
Wajib melaksanakan kaffarah
Dalil kaffarah adalah hadits Abu Haurairah Radhiallahu 'anhu tentang seorang pria yang menyetubuhi istrinya pada siang hari Ramadhan, yaitu jika orang ini tidak mampu memerdekakan budak, tidak mampu berpuasa selama dua bulan berturut-turut dan tidak mampu memberi makan enam puluh orang miskin, maka kewajiban kaffarah itu hilang karena Allah tidak akan memberi beban kepada seseorang kecuali sesuai kemampuannya, sebab tidak ada kewajiban kepada seseorang kecuali sesuai kemampuannya, sebab tidak ada kewajiban jika disertai ketidakmampuan. Dalam hal ini tidak ada bedanya antara bersetubuh yang menyebabkan keluarnya mani ataupun tidak mengeluarkan mani jika persetubuhan itu telah dilakukan. Lain halnya jika keluarnya mani itu tanpa bersetubuh, maka dalam hal ini tidak ada kaffarah, melainkan berdosa dan diwajibkan melanjutkan puasa serta mengqadha puasanya juga. [Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/46-47]

MENCIUM ISTRI DAN MENCUMBUINYA KETIKA BERPUASA

Pertanyaan
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya : Bolehkah orang yang sedang puasa memeluk istrinya dan mencumbuinya di atas ranjang pada bulan Ramadhan .?

Jawaban
Ya, boleh bagi orang yang sedang berpuasa untuk mencium dan mencumbui istrinya dalam keadaan berpuasa, baik di bulan Ramadhan maupun bukan di bulan Ramadhan. Akan tetapi jika hal itu menyebabkannya mengeluarkan mani, maka puasanya batal, walaupun demikian wajib baginya untuk meneruskan puasanya serta diwajibkan pula baginya mengqadha puasa hari itu. Jika hal itu terjadi bukan pada bulan Ramadhan maka puasanya batal dan tidak perlu meneruskan puasanya pada sisa hari itu, akan tetapi jika puasanya adalah puasa wajib maka wajib baginya untuk mengqadha puasa itu, namun jika puasa itu sunnat maka tidak masalah baginya. [ibid, 3/64-65]

HUKUM MENGGUNAKAN CELAK MATA DAN PERLENGKAPAN KECANTIKAN LAINNYA DI SIANG HARI RAMADHAN

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya : Apa hukumnya menggunakan celak mata dan perlengkapan kecantikan lainnya bagi kaum wanita pada siang hari bulan Ramadhan, apakah hal ini dapat membatalkan puasanya atau tidak .?

Jawaban
Celak mata tidak membatalkan puasa kaum pria maupun wanita menurut pendapat yang paling benar di antara dua pendapat ulama, akan tetapi memakainya pada malam hari lebih utama bagi orang yang sedang berpuasa. Begitu juga menggunakan perlengkapan kecantikan wajah lainnya yang berhubungan dengan wajah, seperti sabun, cream dan sejenis lainnya yang berhubungan dengan kulit, termasuk inai, make up dan sebagainya, hanya saja make up sebaiknya tidak digunakan jika dapat merusak wajah. [Kitab Fatawa Ad-Da'wah, Syaikh Ibnu Baaz, 2/170]

MENGGUNAKAN ALAT-ALAT KECANTIKAN MODERN SAAT BERPUASA

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Saya menggunakan alat-alat kecantikan modern saat berpuasa, apakah saya dikenakan sesuatu karena menggunakannya .?

Jawaban
Tidak ada apa pun yang dikenakan pada seorang wanita yang berpuasa jika menggunakan cream pada wajahnya, baik untuk mempercantik dirinya ataupun bukan, yang penting semua kosmetik ini dengan segala macam rupanya yang digunakan di wajahnya atau di punggungnya atau di bagian badan lainnya tidak ada pengaruhnya terhadap orang yang sedang berpuasa dan tidak membatalkannya. [Fatawa wa Durus Al-Haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/65]

MENGGUNAKAN INAI PADA RAMBUT SAAT BERPUASA

Pertanyaan
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya : Apakah boleh menggunakan inai pada saat berpuasa dan saat shalat, karena saya telah mendengar pendapat yang menyatakan bahwa inai dapat membatalkan puasa .?

Jawaban
Pendapat itu tidak benar, karena sesungguhnya menggunakan inai saat puasa tidak membatalkan puasa dan tidak berdampak apa pun bagi orang yang berpuasa, sama halnya dengan menggunakan celak mata, dan sama halnya juga dengan menggunakan obat tetes mata atau obat tetes untuk telinga, karena semua itu tidak dapat membahayakan puasa seseorang dan tidak membatalkan puasa. Adapun menggunakan inai saat shalat, saya tidak paham bagaimana maksud dari pertanyaan ini, sebab wanita yang sedang shalat tidak bisa memakaikan inai, mungkin yang dimaksud penanya adalah : Apakah inai dapat mengahalangi sahnya wudhu seorang wanita jika ia menggunakannya..?

Jawabannya adalah : Bahwa menggunakan inai tidak membatalkan wudhu, karena inai tidak memiliki dzat yang dapat mencegah mengalirnya air pada kulit. sebab inai hanyalah warna saja, adapun yang dapat membatalkan wudhu adalah sesuatu yang memiliki dzat yang mana dzat itu dapat menghalangi mengalirnya air pada kulit, maka dzat tersebut harus dihilangkan terlebih dahulu hingga wudhu menjadi sah. [Fatawa Nur'ala Ad-Darb, Syaikh Ibnu Utsaimin, halaman 46]

APAKAH KOSMETIK PELEMBAB DAPAT MEMBATALKAN PUASA

Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Jibrin ditanya : Apakah kosmetik pelembab kulit dapat membatalkan puasa jika termasuk jenis yang tidak menghalangi mengalirnya air pada kulit ..?

Jawaban
Tidak mengapa menggunakan kosmetik pelembab pada tubuh saat berpuasa jika hal itu dibutuhkan, karena pelembab itu hanya membasahkan permukaan kulit dan tidak masuk hingga ke dalam tubuh, kemudian jika pelembab itu diperkirakan dapat masuk ke pori-pori kulit maka hal itu pun tidak termasuk yang membatalkan puasa. [Fatawa Ash-Shiyam, halaman 41]

MENGOBATI PILEK DENGAN OBAT YANG DIHIRUP MELALUI HIDUNG

Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Ada sejenis obat untuk penyakit pilek yang cara pennggunaannya dengan menghirupnya melalui hidung, apakah menggunakan obat ini dapat membatalkan puasa atau tidak .?

Jawaban
Obat pengakit pilek yang digunakan oleh penderita penyakit itu dengan cara menghirupnya melalui hidung lalu masuk ke dalam paru-paru melalui rongga tempat berlalunya pernafasan dan tidak menuju ke tempat perut besar, maka hal ini tidak dinamakan memakan atau meminum atau yang serupa dengan keduanya. Cara pengobatan seperti itu sama halnya dengan meneteskan obat melalui suntikan untuk menuju pada badan tanpa menggunakan mulut atau hidung. Mengenai masalah ini para ulama berbeda pendapat, apakah pengobatan dengan cara itu dapat membatalkan puasa atau tidak, sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa hal tersebut tidak membatalkan puasa, walaupun demikian mereka semua bermufakat bahwa hal tersebut tidak dinamakan makan ataupun minum, akan tetapi mereka yang berpendapat bahwa hal itu dapat membatalkan puasa karena benda yang dimasukkan itu masuk ke dalam tubuh, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Dan mantapkanlah dalam istinsyaq [1] kecuali jika kami sedang berpuasa"
Perintah memantapkan ber-istinsyaq ini dikecualikan bagi orang yang sedang berpuasa, karena dikhawatirkan air yang dihirup itu akan masuk ke dalam kerongkongan lalu ke perut besar, sebab hal itu dapat membatalkan puasa. Maka hadits ini menunjukkan bahwa segala sesuatu yang masuk ke dalam tenggorokan yang bukan kerena keterpaksaan, dapat mebatalkan puasa. Adapun golongan ulama yang berpendapat bahwa hal tersebut tidak membatalkan puasa, di antara mereka adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah dan yang sependapat denganya, menyatakan bahwa tidak benar mengkiaskan hal ini dengan makan dan minum, karena dalil-dalil yanga ada tidak menunjukkan bahwa yang membatalkan puasa adalah masuknya sesuatu yang sampai ke dalam otak atau ke dalam tubuh, dan juga bukan yang masuk melalui suatu jalan yang sampai ke tenggorokan. Karena tidak ada dalil syar'i yang menjadikan salah satu proses itu (istinsyaq atau berkumur) sebagai penyebab berlakunya hukum, yakni membatalkan puasa. Jadi proses tersebut (istinsyaq atau berkumur) tidak dapat dikategorikan dengan sampainya benda ke dalam tenggorokan atau perut sehingga membatalkan puasa, baik itu sampainya melalui hidung maupun melalui mulut, sebab keduanya hanyalah jalan. Karena itu, puasa seseorang tidak batal hanya karena berkumur atau istinsyaq yang tidak dalam, bahkan hal ini tidak dilarang. Mulut itu sendiri, hanya sebagai jalan masuk saja, tapi jalan ini tidak pasif, artinya tidak semua yang masuk ke mulut mesti masuk ke tenggorokan, sebab mulut bisa memuntahkan lagi. Jika masuknya sesuatu melalui hidung sama dengan yang melalui mulut, kemudian adakalanya hidung sama dengan yang melalui mulut, kemudian adakalanya hidung digunakan untuk memasukkan sesuatu, maka mulut dan hidung mempunyai fungsi yang sama, yakni bisa sebagai jalan masuk, bisa menahan dan bisa mengeluarkan kembali. Tampaknya pendapat yang benar adalah pendapat yang menyatakan tidak membatalkan puasa bila menggunakan obat yang dihirup, karena cara tersebut tidak sama dengan makan dan minum.[Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyah, 3/365]



Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Ifta Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 1, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq, hal.238 - 245, penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin

Foote Note
1.Istinsyaq adalah menghirup air dengan hidung lalu dikeluarkan lagi untuk membersihkannya ketika wudhu. Memantapkan Istinsyaq adalah menghirupnya lebih dalam

Oleh Syaikh Salim bin 'Ied Al-Hilaaly
Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid

Ketahuilah wahai orang yang diberi taufik untuk mentaati Rabbnya Jalla Sya'nuhu, yang dinamakan orang puasa adalah orang yang mempuasakan seluruh anggota badannya dari dosa, mempuasakan lisannya dari perkataan dusta, kotor dan keji, mempuasakan lisannya dari perutnya dari makan dan minum dan mempuasakan kemaluannya dari jima'. Jika bicara, dia berbicara dengan perkataan yang tidak merusak puasanya, hingga jadilah perkataannya baik dan amalannya shalih.

Inilah puasa yang disyari'atkan Allah, bukan hanya tidak makan dan minum semata serta tidak menunaikan syahwat. Puasa adalah puasanya anggota badan dari dosa, puasanya perut dari makan dan minum. Sebagaimana halnya makan dan minum merusak puasa, demikian pula perbuatan dosa merusak pahalanya, merusak buah puasa hingga menjadikan dia seperti orang yang tidak berpuasa.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menganjurkan seorang muslim yang puasa untuk berhias dengan akhlak yang mulia dan shalih, menjauhi perbuatan keji, hina dan kasar. Perkara-perkara yang jelek ini walaupun seorang muslim diperintahkan untuk menjauhinya setiap hari, namun larangannya lebih ditekankan lagi ketika sedang menunaikan puasa yang wajib.

Seorang muslim yang puasa wajib menjauhi amalan yang merusak puasanya ini, hingga bermanfaatlah puasanya dan tercapailah ketaqwaan yang Allah sebutkan.
"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa" [Al-Baqarah : 183]
Karena puasa adalah pengantar kepada ketaqwaan, puasa menahan jiwa dari banyak melakukan perbuatan maksiat berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Puasa adalah perisai"[1], telah kami jelaskan masalah ini dalam bab keutamaan puasa.

Inilah saudaraku se-Islam, amalan-amalan jelek yang harus kau ketahui agar engkau menjauhinya dan tidak terjatuh ke dalamnya, bagi Allah-lah untaian syair:

Aku mengenal kejelekan bukan untuk berbuat jelek tapi
untuk menjauhinya
Barangsiapa yang tidak tahu kebaikan dari kejelekkan akan
terjatuh padanya

1. Perkataan Palsu
Dari Abu Hurairah, Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan (tetap) mengamalkannya, maka tidaklah Allah Azza wa Jalla butuh (atas perbuatannya meskipun) meninggalkan makan dan minumnya" [Hadits Riwayat Bukhari 4/99]
2. Perbuatan Sia-sia dan Kotor
Dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Puasa bukanlah dari makan, minum (semata), tetapi puasa itu menahan diri dari perbuatan sia-sia dan keji. Jika ada orang yang mencelamu, katakanlah : Aku sedang puasa, aku sedang puasa " [Hadits Riwayat Ibnu Khuzaimah 1996, Al-Hakim 1/430-431, sanadnya SHAHIH]
Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengancam dengan ancaman yang keras terhadap orang-orang yang melakukan perbuatan tercela ini.

Bersabda As-Shadiqul Masduq yang tidak berkata kecuali wahyu yang diwahyukan Allah kepadanya.
"Artinya : Berapa banyak orang yang puasa, bagian (yang dipetik) dari puasanya hanyalah lapar dan haus (semata)" [Hadits Riwayat Ibnu Majah 1/539, Darimi 2/211, Ahmad 2/441,373, Baihaqi 4/270 dari jalan Said Al-Maqbari dari Abu Hurairah. Sanadnya SHAHIH]
Sebab terjadinya yang demikian adalah karena orang-orang yang melakukan hal tersebut tidak memahami hakekat puasa yang Allah perintahkan atasnya, sehingga Allah memberikan ketetapan atas perbuatan tersebut dengan tidak memberikan pahala kepadanya. [Lihat Al-Lu'lu wal Marjan fima Ittafaqa 'alaihi Asy-Syaikhani 707 dan Riyadhis Shalihin 1215]

Oleh sebab itu Ahlul Ilmi dari generasi pendahulu kita yang shaleh membedakan antara larangan dengan makna khusus dengan ibadah hingga membatalkannya dan membedakan antara larangan yang tidak khusus dengan ibadah hingga tidak membatalkannya. [Rujuklah : Jami'ul Ulum wal Hikam hal. 58 oleh Ibnu Rajab]


Disalin dari Kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, edisi Indonesia Sipat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata.

Foote Note.
1.Telah lewat Takhrijnya

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Di permasalahan ke 6, ML Assunnah telah memuat penjelasan lengkap mengenai Derajat Hadits Shalat Tarawih 20 Raka'at, kemudian ada usulan dari beberapa ikhwan (khususnya yang tinggal di Jepang) untuk mejelaskan juga hadits yang shahihnya, agak lama kami mencari makalah yang membahas masalah tersebut. Alhamdulillah Ahad kemarin tgl. 18 Ramadhan 1420 H kami mendapatkan sebuah buku terjemahan yang sangat bagus sekali karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, dengan judul "Kelemahan Hadits Tarawih 20 Raka'at", cet. 1989 oleh penerbit Fitrah.
Buku tersebut memuat beberapa bab mengenai Shalat Tarawih, namun tidak semua kami angkat di ML Assunnah, hanya 3 Bab saja Insya Allahu Ta'ala, yaitu : "Penjelasan Tentang Disunnahkannya Shalat Tarawih dengan Berjama'ah", kemudian "Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam tidak Pernah Shalat lebih dari 11 Raka'at" dan "Perintah Membaguskan Shalat dan Ancaman bagi yang Melalaikan".
Walaupun agak sedikit terlambat, mudah-mudahan dapat membantu kita dalam rangka membersihkan ibadah kita dari kekeliruan-kekeliruan yang akan berakibat amalan kita tertolak dan dimasukkan ke dalam kategori bid'ah.
PENJELASAN TENTANG DISUNNAHKANNYA
SHALAT TARAWIH DENGAN BERJAMA'AH
Tidak syak lagi bahwa shalat Tarawih dengan berjama'ah adalah sangat dianjurkan berdasarkan pada :
A. TAQRIR Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana riwayat Tsa'labah bin Abi Malik, ia berkata :
"Artinya : Telah keluar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, suatu malam di bulan Ramadhan, maka beliau melihat orang-orang shalat di tepi masjid, sabdanya : Apa yang mereka lakukan ? Salah seorang berkata : Ya Rasulullah ! Mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat membaca Al-Qur'an dan Ubai bin Ka'ab membacakannya, dan mereka shalat berjama'ah dengannya. Maka sabdanya : Mereka telah mengerjakan yang baik atau telah benar mereka. Dan beliau tidak menampakkan kebencian terhadap mereka tersebut".
[Diriwayatkan oleh Baihaqi dalam sunannya II : 495 ia berkata Hadits ini MURSAL HASAN.]
Penjelasan :
Hadits ini telah diriwayatkan dengan MAUSHUL (sanad yang bersambung) melalui jalan lain dari Abu Hurairah dalam kitab Al-Mutabaat was Syawahid, sanadnya LA BA'SA BIHI (baik).
Dikeluarkan oleh Ibnu Nashr dalam Qiyamul-Lail, hal.90 Abu Dawud I : 217 dan Baihaqi.
B. FI'IL (Perbuatan) beliau sendiri. Tentang ini terdapat beberapa hadits.
Pertama dari Nu'man bin Basyir ia berkata :
"Artinya : Kami pernah shalat (malam) bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada malam ke 23 di bulan Ramadhan hingga sepertiga malam yang pertama, kemudian kami shalat lagi bersamanya pada malam ke 25 hingga pertengahan malam, kemudian beliau mengimami kami pada malam ke 27 hingga kami mengira, kami tidak akan mendapatkan waktu "FALAAH". Ia berkata : Kami menyebut "SAHUR" dengan sebutan falaah".
[Diriwayatkan oleh Ibnu 'Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf II : 90/2, Ibnu Nashr halaman 89, Nasaa'i I : 238, Ahmad IV : 272, Faryabi dalam Kitab Shiam I/73 - II/72. Sanadnya SHAHIH dan dishahkan oleh Hakim]
Hakim berkata : Hadits ini merupakan dalil yang terang bahwa Shalat Tarawih di masjid-masjid kaum Muslimin adalah SUNNAH (dianjurkan), dan adalah Ali bin Abi Thalib menganjurkan Umar bin Khattab radyillahu 'anhum untuk melestarikan sunnah ini. Al-Mustadrak I : 440.
Kedua dari Anas ia berkata :
"Artinya : Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, shalat di bulan Ramadhan, kemudian aku datang dan aku berdiri di sampingnya, kemudian datang yang lain, kemudian yang lain lagi, sehingga waktu itu kami menjadi kelompok (berjumlah lebih kurang 10 orang). Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam merasa bahwasanya kami berada di belakangnya, beliau meringkas shalatnya, kemudian masuk rumahnya. Ketika beliau masuk rumahnya, beliau mengerjakan shalat yang tidak dikerjakannya bersama kami. Ketika kami masuk waktu pagi, kami bertanya : Ya Rasulullah ! Apakah engkau tidak mengetahui kami tadi malam ?. Beliau menjawab : Ya, justru itulah yang mendorongku untuk melakukan apa yang aku perbuat".
[Diriwayatkan oleh Ahmad III : 199, 212 dan 291, juga Ibnu Nashr halaman 89, keduanya dengan sanad yang SHAHIH. Demikian juga Thabrani meriwayatkan hadits ini dalam Al-Aushath dan Al-Jam'u III : 173]
Ketiga dari 'Aisyah ia berkata :
"Artinya : Pernah orang-orang shalat (malam) di masjid Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, pada bulan Ramadhan dengan sendiri-sendiri, orang-orang itu mempunyai sedikit hafalan Al-Qur'an, lalu ada kurang lebih lima atau enam orang, atau lebih sedikit atau lebih banyak dari jumlah itu yang mengikuti shalatnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. ('Aisyah berkata) : Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, menyuruh aku mendirikan tikar di pintu kamarku, lalu aku kerjakan. Kemudian Ia keluar ke pintu sesudah shalat Isya' yang terakhir. Ia ('Aisyah) berkata : Lalu orang-orang yang di masjid mengerumuni beliau, lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, shalat bersama mereka, shalat malam yang panjang, kemudian beliau berpaling dan masuk (ke rumah), beliau tinggalkan tikar itu sebagaimana adanya. Ketika pagi hari orang-orang memperbincangkan shalatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersama mereka yang di masjid pada malam itu. (Akibatnya) orang-orang berkumpul lebih banyak lagi sehingga masjid menjadi penuh sesak. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam keluar pada malam yang kedua, maka orang-orang shalat mengikuti shalatnya. Pada pagi harinya orang-orang menceritakan kejadian itu, sehingga bertambah banyaklah pengunjung di malam yang ke tiga, pada malam itu beliau keluar dan orang-orang shalat mengikuti shalatnya. (Akhirnya) pada hari keempat masjid tidak mampu lagi menampung pengunjungnya, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam shalat Isya' bersama mereka, kemudian beliau masuk rumahnya dan orang-orang memastikan hal itu. 'Aisyah melanjutkan : Beliau bertanya kepadaku : Bagaimana orang-orang bisa menjadi seperti itu ya 'Aisyah ?. Aku menjawab : Ya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ! Orang-orang mendengar tentang shalatmu bersama mereka yang di masjid tadi malam, oleh karena itu mereka berkumpul agar engkau mau shalat bersama mereka. Beliau berkata : Gulunglah tikarmu ini ya 'Aisyah, lalu aku kerjakan. Malam itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidur dengan tidak lalai, sedangkan orang-orang mengetahui tempatnya, kemudian masuklah beberapa orang dari mereka sambil berkata : As-Shalat ! hingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam keluar untuk shalat Shubuh. Setelah selesai shalat Fajar, beliau menghadap ke orang banyak, kemudian bertasyahhud dan berkata : Amma ba'du ! Wahai orang-orang demi Allah dan Alhamdulillah tadi malam aku tidur pulas, tidak tersembunyi bagiku tempat-tempat kamu, tetapi aku khawatir akan dijadikan kewajiban buat kamu sekalian. Pada riwayat lain : Tetapi aku takut diwajibkan atas kamu shalat malam (itu), dan kamu tidak sanggup mengerjakannya ......"
Pada riwayat lain Zuhri menambahkan : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, wafat sedangkan orang-orang dalam keadaan seperti itu, demikian juga pada masa khalifah Abu Bakar dan permulaan kekhalifahan Umar 1) (Hadits Shahih Riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud Nasa'i, Ahmad dan Faryabi serta Ibnu Nashr).
1) Lafadz "wal amru 'ala dzalika" = keadaan orang-orang seperti itu mempunyai dua pengertian yaitu : a) meninggalkan jama'ah dalam Tarawih, b) Shalat sendiri-sendiri (mengadakan jama'ah masing-masing). Penulis lebih cenderung pada pengertian yang (b).
Penjelasan :
Perbuatan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berjama'ah selama tiga malam bersama mereka, merupakan petunjuk jelas bahwa shalat Tarawih itu sebaiknya dikerjakan dengan berjama'ah. Adapun sikap Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak hadir bersama mereka pada malam ke empat, tidak dapat diartikan bahwa anjuran itu sudah dihapuskan, karena ketika itu beliau menyebutkan illatnya yaitu "aku takut/khawatir akan diwajibkan atas kamu".
Tetapi dengan wafatnya beliau, maka hilang pula kekhawatiran tersebut, berarti kita kembali kepada hukum yang terdahulu yaitu anjuran berjama'ah, oleh karena itu Umar radyillahu 'anhum berusaha menghidupkan kembali tuntunan tersebut sebagaimana disebutkan di atas. Demikian pula sikap yang diambil oleh Jumhur Ulama'.
Keempat, Hudzaifah bin Yaman menceritakan :
"Artinya : Telah bangun Rasululullah shallallahu 'alaihi wa sallam di suatu malam pada bulan Ramadhan di kamarnya yang terbuat dari pelepah korma, kemudian ia menuangkan setimba air, kemudian mengucap "Allahu Akbar Allahu Akbar" tiga kali, Dzal Malakut wal Jabarut wal Kibriyaa' wal 'Azhmah, kemudian beliau membaca surah Al-Baqarah. Ia (Hudzaifah) berkata selanjutnya : Kemudian beliau ruku', dan adalah (lama) ruku'nya seperti (lama) berdirinya, lalu dalam rukunya beliau mengucap "subhana rabbiyal azhim, subhana rabbiyal azhim", kemudian mengangkat kepalanya dari ruku', lalu berdiri sebagaimana ruku'nya dan mengucap : "La Rabbil Hamdu". Kemudian beliau sujud, dan adalah sujudnya selama berdirinya. Beliau mengucap dalam sujudnya : "Subhana Rabbiyal A'laa", kemudian mengangkat kepalanya dari sujud, kemudian duduk, pada duduk antara dua sujud beliau mengucap "Rabbigh Firli", lama duduknya sebagaimana sujudnya, kemudian sujud dan berkata : "Subhana Rabbiyal A'laa". Maka beliau shalat empat raka'at dan membaca padanya surah Al-Baqarah dan Ali 'Imran dan An-Nisaa' dan Al-Maidah serta Al-An'am sehingga datang Bilal untuk adzan buat shalat (Fajar)".
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah II : 90/2 dan Ibnu Nashr pada halaman 80 - 90. Nasa'i dalam sunannya I : 246, Ahmad V : 400 melalui Thalhah bin Yazid Al-Anshari dari Hudzaifah, riwayat-riwayatnya ini saling menambah antara satu dengan yang lain. Juga oleh Imam Tirmidzi I : 303 serta Ibnu Majah dalam I : 290 dan Hakim I : 271 tentang ucapan duduk antara dua sujud. Hakim juga mengesahkannya dan Dzahabi menyetujuinya, orang-orangnya kepercayaan, tetapi Nasa'i menganggap ini Mursal dengan menyebut illatnya bahwa Thalhah bin Yazid tidak aku ketahui mendengar (hadits ini) dari Hudzaifah.
Menurut pedapat saya, sanad hadits ini telah disambung oleh 'Amr bin Marrah dari Abi Hamzah yang dia itu adalah Thalhah bin Yazid, ia mendengar dari seorang laki-laki dari Absi, Syu'bah memandang bahwasanya ia adalah Shillah bin Zufar dari Hudzaibah. Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Dawud I : 139-140, Nasa'i I : 172, Thahawi dalam "Al-Musykil" I : 308, Thayalisi I : 115 serta Baihaqi II : 121-122, juga Ahmad V : 398 dan Baghawi pada hadits Ali bin Ja'di I : 4/1 dari Syu'bah dari 'Amr, sanadnya shahih. Muslim meriwayatkan II : 186 melalui jalan Al-Mustaurad bin Ahnaf dari Shillah bin Zufar yang semakna dengan ini disertai tambahan, pengurangan dan beberapa perubahan kecil.
C. Keterangan-keterangan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam (qaul) tentang keutamaan Tarawih dengan berjama'ah.
"Artinya : Abu Dzar radyillahu 'anhum berkata : Kami pernah berpuasa bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tetapi beliau tidak shalat bersama kami, sehingga tinggal tujuh hari dari bulan (Ramadhan), lalu ia shalat (malam) bersama kami hingga larut sepertiga malam, kemudian di hari keenam ia tidak shalat bersama kami lagi, dan ia shalat bersama kami pada malam kelima, hingga larut pertengahan malam, lalu kami bertanya : Ya Rasulullah ! Alangkah baiknya kalau seandainya engkau kerjakan sunnah itu dengan kami dalam sisa malam kami ini. Maka jawabnya : Sesungguhnya barangsiapa yang shalat (malam) bersama imam hingga selesai, akan ditetapkan baginya (seperti) shalat semalam (suntuk). Kemudian setelah itu ia tidak lagi shalat bersama kami hingga tinggal tiga hari dari bulan itu, kemudian ia shalat lagi bersama kami pada malam ketiganya, dan ia ajak keluarga dan istrinya, lalu ia shalat bersama kami, hingga kami khawatir (kehilangan) al-falaah. Aku bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Apakah Al-Falaah itu ? Jawabnya : Yaitu Sahur".
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah II : 90/2, Abu Dawud I : 217, Tirmidzi II : 72-73, disahkan oleh Nasa'i I : 238 dan Ibnu Majah I : 397 dan Thahawi dalam "Syarhul Ma'aanil Atsar" I : 206, dan Ibnu Nashr hal 89, Faryabi I : 71 dan II : 72, serta Baihaqi II : 494. Semua sanad mereka SHAHIH.
Mendukung hadits ini adalah riwayat Abu Dawud dalam kitab Al-Masaail hal 62, ia berkata.
"Artinya : Saya mendengar Ahmad ditanya : Mana yang lebih engkau sukai, orang yang shalat di bulan Ramadhan bersama orang banyak atau sendirian ; Ia menjawab : Orang yang shalat bersama orang banyak ; aku juga mendengar ia berkata : Aku menyukai orang-orang yang shalat bersama imam dan witir bersamanya. Nabi shallallhu 'alaihi wa sallam bersabda : Sesungguhnya seorang laki-laki apabila ia shalat bersama imam, akan ditetapkan baginya (pahala) di sisi malamnya. Yang seperti ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Nashr, halaman 91 dari Ahmad, kemudian Abu Dawud berkata : "Ahmad ditanya dan aku mendengar : bagaimana tentang mengakhirkan pelaksanaan shalat Tarawih hingga akhir malam ? Ia menjawab : Tidak ada sunnah kaum Muslimin yang lebih baik aku sukai dari pada itu 2)".
2). Pengertian berjama'ah pada waktu awwal untuk shalat Tarawih lebih afdhal baginya daripada shalat sendirian, walau mengakhirkannya hingga akhir malam. Jadi walaupun menta'khir shalat Tarawih itu mempunyai keutamaan sendiri, tapi melakukan dengan jama'ah adalah lebih utama dengan dasar bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melakukannya beberapa malam bersama para shahabat, sebagaimana yang diceritakan pada riwayat 'Aisyah terdahulu, dan demikian pula yang dilakukan kaum Muslimin mulai kekhalifahan Umar radyiallahu 'anhum hingga sekarang.

Dikutip dari buku
Kelemahan Hadits Tarawih 20 Raka'at
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah
Penterjemah : Luthfie Abdullah Ismail

;;