(1) Berdasarkan hadits Ibnu Umar r.a. : Rasulullah shalallaahu 'alaihi wasallam bersabda :

Artinya : "Semoga Allah memberi rahmat kepada seseorang yang shalat sunnah sebelum Ashar empat rakaat"

(Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya II:117. Diriwayatkan oleh Abu Daud
dalam kitab At-Tathawwu', bab: Shalat sebelum Ashar, no 1270.
... Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud I:237
... Penulis pernah mendengar dari Syaikh Abdul Azis bin Baz menyatakan ketika
menjelaskan Bulughul Maram hadits 387 " Hadits sanadnya bagus, dan menunjukkan
disyariatkannya shalat empat rakaat sebelum Ashar, dan itu adalah sunnah,
namun bukan termasuk sunnah Rawatib, karena Nabi tidak selalu melakukannya.
Diriwayatkan juga dari hadits Ali r.a. bahwa beliau melakukannya dua rakaat
sebelum Ashar. Itu menunjukkan bahwa dianjurkan bagi seorang muslim untuk
shalat dua atau empat rakaat sebelum Ashar.)

(2) Diriwayatkan juga dari Ali, bahwa Rasulullah biasa melakukan shalat dua
raka'at sebelum Ashar

(Diriwayatkan oleh Abu Daud no. 1272, dinyatakan oleh Al-Albani dalam Shahih
Sunan Abi Daud I:237 :"Hasan, akan tetapi dengan lafadh 'beberapa rakaat'")

....
Hadits Berkenaan dengan sunat shalat sebelum Ashar:

Hadist PERTAMA:
Dari Maimunah, ia berkata "rasulullah shalallahu alaihi wassalam biasa
shalat sunat sebelum shalat Ashar dua rakaat" Hadist ini Dhaif

Diriwayatkan oleh Abu Ya'la dengan sanad ada Handzalah As Sadushi yang
telah dilemahkan oleh Ahmad dan Ibnu Ma'in dan telah ditsiqahkan oleh Ibnu Hibban

( Pentsiqahan Imam Ibnu Hibban terhadap seorang Rawi tsb telah
dilemahkan oleh para Imam)

Hadist KEDUA
Artinya dari Ummi Habibah binti Abi Sufyan, ia berkata. Telah bersabda
Rasulullah Shalallahu walaihi wassalam " Barang siapa yang memelihara empat
rakaat sebelum shalat Ashar, niscaya allah akan membangunkannya untuknya satu
rumah di Surga. Hadist ini Dhaif

Telah berkata Imam Al Haitsami di kitabnya Manjma-uz Zawaa-id (2/222)'
Telah diriwayatkan oleh Abu Ya'la dan didalam sanadnya terdapat Muhammad bin
Sa'ad Al Mu'adzin yang aku tidak mengetahui. Yg benar namanya adalah Muhammad
bin Sa'id

Dia adalah seorang Rawi tsiqah dan mengeluarkan hadits yang Hasan, namun
penyakit atau illiat di dalam isnad hadits ini dating dari Abdullah bin
Anbasah seorang Rawi yang Majhul (tdak dikenal)

Hadist KETIGA
Dari Ummi Slamah ari rasulullah shalallahu alaihi wassalam, beliau
bersabda: " Barang siapa yang shalat sunat empat rakaat sebelum shalat ashar,
Niscaya Allah haramkan badannya atas api neraka." Aku bertanya, Ya Rasullulah,
sesungguhnya aku telah melihat engkau shalat 4 rakaat sunat sebelum shalat
ashar, kemudian engkau meninggalkannya, " jawab beliau, "aku tidaklah seperti
kamu". Hadits ini Dhaif

Di dalamnya ada sanad Naafi bin Mihran dan yang selainnya aku tidak
dapatkan orang yang menerangkan keadaan mereka (yakni menurut Imam Al
Haitsamiy mereka ini adalah rawi-rawi yang majhul (tidak dikenal)

Kesimpulan bahwa Sunat sebelum Ashar merupakan shalat sunat Mutlak
layaknya kita shalat sunat ketika akan shalat Isya, jadi bukan merupakan
shalat Rawatib yang dicontohkan oleh rasulullah shalallahu alaihi wassalam

Dikutip dari Kitab Hadis-hadits Dlaif dan Maudhu oleh Abdul Hakim bin
Amir Abdat halaman 257 s.d 259

Kemudian untuk shalat sebelum Isya juga sudah dijawab oleh Ustadz Abu
Haidar sewaktu daurah 26 Des lalu, dan beliau menjawab tidak ada shalat sunnah
Qobliyah menjelang Isya, sayangnya beliau tidak memberikan dalil.

Wallohualam

Abu Raffi

Keterangan Lain
hadits 1 : Ali berkata:"Adalah Rasulullah biasa sembahyang 4 rakaat sebelum
ashar, dipisah 2 salam, memberi salam pd para Malaikat muqorrobin dan pengikut
mereka dari kaum muslimin dan mu'minin." (Attirmidzi)

hadits 2 : Ibnu Umar berkata : Bersabda Rasulullah : "Allah akan merahmati
seorang yang sembahyang sunnah sebelum ashar 4 rakaat." (Abu Dawud, Tirmidzi)

hadits 3 : Ali berkata:Adalah Rasulullah sembahyang sunnah sebelum ashar 2
rakaat." (abu Dawud)

Kemudian disebutkan juga dalam Kitab Bulughul Mahram, hadits yg ke 382 , yang
artinya : Dati Ibnu Umar, ia berkata :Telah bersabda Rasulullah : "Mudah-
mudahan Allah memberi rahmat seseorang yang shalat 4 rakaat sebelum ashar."
(Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan ia hasankan dia, dan Ibnu Khuzaimah dan ia
shahkan dia).

Semoga bermanfaat

Wassalamu'alaikum

Beberapa Cara Shalat Malam yang dikerjakan Rasulullah shallallahu `alaihi wa
sallam.

1. Shalat 13 rakaat dan dimulai dengan 2 rakaat yang ringan.

Berkenaan dengan ini ada beberapa riwayat:
a. Hadits Zaid bin Khalid al-Juhani bahwasanya berkata: "Aku perhatikan
shalat malam Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Yaitu (ia) shalat dua
rakaat yang ringan, kemudian ia shalat dua rakaat yang panjang sekali.
Kemudian shalat dua rakaat, dan dua rakaat ini tidak sepanjang dua rakaat
sebelumnya, kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat
sebelumnya), kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat
sebelumnya), kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat
sebelumnya), kemudian witir satu rakaat, yang demikian adalah tiga belas
rakaat." (Diriwayatkan oleh Malik, Muslim, Abu Awanah, Abu Dawud dan Ibnu
Nashr)

b. Hadits Ibnu Abbas, ia berkata: "Saya pernah bermalam di kediaman
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam suatu malam, waktu itu beliau di
rumah Maimunah radliyallahu anha. Beliau bangun dan waktu itu telah habis
dua pertiga atau setengah malam, kemudian beliau pergi ke tempat yang ada
padanya air, aku ikut berwudlu bersamanya, kemudian beliau berdiri dan aku
berdiri di sebelah kirinya maka beliau pindahkan aku ke sebelah kanannya.
Kemudian meletakkan tangannya di atas kepalaku seakan-akan beliau memegang
telingaku, seakan-akan membangunkanku, kemudian beliau shalat dua rakaat
yang ringan. Beliau membaca Ummul Qur'an pada kedua rakaat itu, kemudian
beliau memberi salam kemudian beliau shalat hingga sebelas rakaat dengan
witir, kemudian tidur. Bilal datang dan berkata: Shalat Ya Rasulullah! Maka
beliau bangun dan shalat dua rakaat, kemudian shalat mengimami orang-orang.
(HR. Abu Dawud dan Abu 'Awanah dalam kitab Shahihnya. Dan asalnya di
Shahihain)

Ibnul Qayim juga menyebutkan hadits ini di Zadul Ma`ad 1:121 tetapi Ibnu
Abbas tidak menyebut bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memulai
shalatnya dengan dua rakaat yang ringan sebagaimana yang disebutkan Aisyah.

c. Hadits Aisyah, ia berkata: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa
sallam apabila bangun malam, memulai shalatnya dengan dua rakaat yang
ringan, kemudian shalat delapan kemudian berwitir. Pada lafadh lain: Adalah
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat Isya, kemudian menambah
dengan dua rakaat, aku telah siapkan siwak dan air wudhunya dan berwudlu
kemudian shalat dua rakaat, kemudian bangkit dan shalat delapan rakaat,
beliau menyamakan bacaan antara rakaat-rakaat itu, kemudian berwitir pada
rakaat yang ke sembilan. Ketika Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
sudah berusia lanjut dan gemuk, beliau jadikan yang delapan rakaat itu
menjadi enam rakaat kemudian ia berwitir pada rakaat yang ketujuh, kemudian
beliau shalat dua rakaat dengan duduk, beliau membaca pada dua rakaat itu
"Qul ya ayyuhal kafirun" dan "Idza zulzilat."

Penjelasan.
Dikeluarkan oleh Thahawi 1/156 dengan dua sanad yang shahih. Bagian pertama
dari lafadh yang pertama juga dikeluarkan oleh Muslim 11/184; Abu Awanah
1/304, semuanya diriwayatkan melalui jalan Hasan Al-Bashri dengan mu`an`an,
tetapi Nasai meriwayatkannya (1:250) dan juga Ahmad V:168 dengan tahdits.
Lafadh kedua ini menurut Thahawi jelas menunjukan bahwa jumlah rakaatnya 13,
ini menunjukan bahwa perkataannya di lafadh yang pertama "kemudian ia
berwitir" maksudnya tiga rakaat. Memahami seperti ini gunanya agar tidak
timbul perbedaan jumlah rakaat antara riwayat Ibnu Abbas dan Aisyah.
Kalau kita perhatikan lafadh kedua, maka di sana Aisyah menyebutkan dua
rakaat yang ringan setelah shalat Isya'nya, tetapi tidak menyebutkan adanya
shalat ba'diyah Isya. Ini mendukung kesimpulan penulis di uraian terdahulu
bahwa dua rakaat yang ringan itu adalah sunah ba`diyah Isya.

2. Shalat 13 rakaat, yaitu 8 rakaat (memberi salam setiap dua rakaat)
ditambah lima rakaat witir, yang tidak duduk kecuali pada rakaat terakhir.

Tentang ini ada riwayat dari Aisyah sebagai berikut: Adalah Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam tidur, ketika bangun beliau bersiwak kemudian
berwudhu, kemudian shalat delapan rakat, duduk setiap dua rakaat dan memberi
salam, kemudian berwitir dengan lima rakaat, tidak duduk kecuali ada rakaat
kelima, dan tidak memberi salam kecuali pada rakaat yang kelima. Maka ketika
muadzin beradzan, beliau bangkit dan shalat dua rakaat yang ringan.

Penjelasan
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad II:123, 130, sanadnya shahih menurut
persyaratan Bukhari dan Muslim. Dikeluarkan juga oleh Muslim II:166; Abu
Awanah II:325, Abu Daud 1:210; Tirmidzi II:321 dan beliau mengesahkannya.
Juga oleh Ad-Daarimi 1:371, Ibnu Nashr pada halaman 120-121; Baihaqi III:27;
Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla III:42-43.
Semua mereka ini meriwayatkan dengan singkat, tidak disebut padanya tentang
memberi salam pada tiap dua rakaat, sedangkan Syafi'i 1:1/109, At-Thayalisi
1:120 dan Hakim 1:305 hanya meriwayatkan tentang witir lima rakaat saja.
Hadits ini juga mempunyai syahid dari Ibnu Abbas, diriwayatkan oleh Abu
Dawud 1:214 daan Baihaqi III:29, sanad keduanya shahih.
Kalau kita lihat sepintas lalu, seakan-akan riwayat Ahmad ini bertentangan
dengan riwayat Aisyah yang membatas bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa
sallam tidak pernah mengerjakan lebih dari sebelas rakaat, sebab pada
riwayat ini jumlah yang dikerjakan Nabi shallallahu `alaihi wa sallam adalah
13 rakaat + 2 rakaat qabliyah Shubuh.
Tetapi sebenarnya kedua riwayat ini tidak bertentangan dan dapat dijama'
seperti pad uraian yang lalu. Kesimpulannya dari 13 rakaat itu, masuk di
dalamnya 2 rakaat Iftitah atau 2 rakaat ba'diyah Isya.

3. Shalat 11 rakaat dengan memberi salam setiap dua rakaat dan berwitir 1
rakaat.

Dasarnya hadits Aisyah berikut ini: "Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi
wa sallam shalat pada waktu antara selesai shalat Isya, biasa juga orang
menamakan shalat 'atamah hingga waktu fajar, sebanyak 11 rakaat, beliau
memberi salam setiap dua rakaat dan berwitir satu rakaat, beliau berhenti
pada waktu sujudnya selama seseorang membaca 50 ayat sebelum mengangkat
kepalanya".

Penjelasan:
Diriwayatkan oleh Muslim II:155 dan Abu Awanah II:326; Abu Dawud I:209;
Thahawi I:167; Ahmad II:215, 248. Abu Awanah dan Muslim juga meriwayatkan
dari hadits Ibnu Umar, sedangkan Abu Awanah juga dari Ibnu Abbas.
Mendukung riwayat ini adalah Ibnu Umar juga: Bahwa seorang laki-laki
bertanya kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tentang shalat
malam, maka sabdanya: Shalat malam itu dua rakaat dua rakaat. Kalau
seseorang daripada kamu khawatir masuk waktu Shubuh, cukup dia shalat satu
rakaat guna menggajilkan jumlah rakaat yang ia telah kerjakan.

Riwayat Malik I:144, Abu Awanah II:330-331, Bukhari II:382,385,
MuslimII:172. Ia menambahkan (Abu Awanah): "Maka Ibnu Umar ditanya: Apa yang
dimaksud dua rakaat - dua rakaat itu? Ia menjawab: Bahwasanya memberi salam
di tiap dua rakaat."

4. Shalat 11 rakaat yaitu dengan 4 rakaat satu salam, empat rakaat salam
lagi, kemudian tiga rakaat.

Haditsnya adalah riwayat Bukhari Muslim sebagaimana disebutkan terdahulu.
Menurut dhahir haditsnya, beliau duduk di tiap-tiap dua rakaat tetapi tidak
memberi salam, demikianlah penafsiran Imam Nawawi.
Yang seperti ini telah diriwayatkan dalam beberapa hadits dari Aisyah
bahwasanya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak memberi salam
antara dua rakaat dan witir, namun riwayat-riwayat itu lemah, demikianlah
yang disebutkan oleh Al-Hafidh Ibnu Nashr, Baihaqi dan Nawawi.

5. Shalat 11 rakaat dengan perincian 8 rakaat yang belaiu tidak duduk
kecuali pada rakaat kedelapan tersebut, maka beliau bertasyahud dan
bershalawat atas Nabi, kemudian bangkit dan tidak memberi salam, selanjutnya
beliau witir satu rakaat, kemudian memberi salam.

Dasarnya adalah hadits Aisyah radliallahu `anha, diriwayatkan oleh Sa'ad bin
Hisyam bin Amir. Bahwasanya ia mendatangi Ibnu Abbas dan menanyakan
kepadanya tentang witir Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam maka Ibnu
Abbas berkata: Maukah aku tunjukan kepada kamu orang yang paling mengetahui
dari seluruh penduduk bumi tentang witirnya Rasulullah shallallahu `alaihi
wa sallam: Ia bertanya siapa dia? Ia berkata: Aisyah radlillahu anha, maka
datangilah ia dan tanya kepadanya: Maka aku pergi kepadnya, ia berkata: Aku
bertanya; Hai Ummul mukminin khabarkan kepadaku tentang witir Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam, Ia menjawab: Kami biasa menyiapkan siwak dan
air wudlunya, maka ia bersiwak dan berwudlu dan shalat sembilan rakaat tidak
duduk padanya kecuali pada rakaat yang kedelapan, maka ia mengingat Allah
dan memuji-Nya dan bershalawat kepada nabi-Nya dan berdoa, kemudian bangkit
dan tidak memberi salam, kemudian berdiri dan shalat (rakaat) yang
kesembilan, kemudian belaiu duduk dan mengingat Allah dan memujinya
(attahiyat) dan bershalawat atas nabi-Nya shallallahu `alaihi wa sallam dan
berdoa, kemudian memberi salam dengan salam yang diperdengarkan kepada kami,
kemudian shalat dua rakat setelah beliau memberi salam, dan beliau dalam
keadaan duduk, maka yang demikian jumlahnya sebelas wahai anakku, maka
ketika Nabi shallallahu `alaihi wa sallam menjadi gemuk, beliau berwitir
tujuh rakaat, beliau mengerjakan di dua rakaat sebagaimana yang beliau
kerjakan (dengan duduk). Yang demikian jumlahnya sembilan rakaat wahai
anakku.

Penjelasan
Diriwayatkan oleh Muslim II:169-170, Abu Awanah II:321-325, Abu Dawud
I:210-211, Nasai I/244-250, Ibnu Nashr halaman 49, Baihaqi III:30 dan Ahmad
VI:53,54,168.

6. Shalat 9 rakaat, dari jumlah ini, 6 rakaat beliau kerjakan tanpa duduk
(attahiyat) kecuali pada rakaat yang keenam tersebut, beliau bertasyahud dan
bershalawat atas Nabi shallallahu `alaihi wa sallam kemudian beliau bangkit
dan tidak memberi salam sedangkan beliau dalam keadaan duduk.

Yang menjadi dasar adalah hadits Aisyah radiyallahu anha seperti telah
disebutkan pada cara yang kelima. Itulah cara-cara shalat malam dan witir
yng pernah dikerjakan rasulullah, cara yang lain dari itu bisa juga
ditambahkan yang penting tidak melebihi sebelas rakaat. Adapun kurang dari
jumlah itu tidak dianggap menyalahi karena yang demikian memang dibolehkan,
bahkan berwitir satu rakaatpun juga boleh sebagaimana sabdanya yang
lalu:"....Maka barang siapa ingin maka ia boleh berwitir 5 rakaat, dan
barangsiapa ingin ia boleh berwitir 3 rakaat, dan barangsiapa ingin a boleh
berwitir dengan satu rakaat."

Hadits di atas merupakan nash boleh ia berwitir dengan salah satu dari
rakaat-rakaat tersebut, hanya saja seperti yang dinyatakan hadits Aisyah
bahwasaya beliau tidk berwitir kurang dari 7 rakaat.

Tentang witir yang lima rakaat dan tiga rakaat dapat dilakukan dengan
berbagai cara:
a. Dengan sekali duduk dan sekali salam
b. Duduk attahiyat setiap dua rakaat
c. Memberi salam setiap dua rakaat

Al-Hafidh Muhammad bin Nashr al-Maruzi dalam kitab Qiyamul Lail halaman 119
mengatakan:
Cara yang kami pilih untuk mengerjakan shalat malam, baik Ramadlan atau
lainnya adalah dengan memberi salam setiap dua rakaat. Kalau seorang ingin
mengerjakan tiga rakaat, maka di rakaat pertama hendaknya membaca surah
"Sabbihisma Rabbikal A'la" dan pada rakaat kedua membaca surah "Al-Kafirun",
dan bertasyahud dirakaat kedua kemudian memberi salam. Selanjutya bangkit
lagi dan shalat satu rakaat, pada rakaat ini dibaca Al-Fatihah dan
Al-Ikhlash, Mu`awwidzatain (Al-Falaq dan An-Naas), setelah itu beliau
(Muhammad bin Nashr) menyebutkan cara-cara yang telah diuraikan terdahulu.

Semua cara-cara tersebut boleh dilakukan, hanya saja kami pilih cara yang
disebutkan di atas karena didasarkan pada jawaban Nabi shallallahu `alaihi
wa sallam ketika beliau ditanya tentang shalat malam, maka beliau menjawab:
bahwa shalat malam itu dua rakaat dua rakaat, jadi kami memilih cara seperti
yang beliau pilih.

Adapun tentang witir yang tiga rakaat, tidak kami dapatkan keterangan yang
pasti dan terperinci dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam bahwasanya
beliau tidak memberi salam kecuali pada rakat yang ketiga, seperti yang
disebutkan tentang Witir lima rakaat, tujuh dan sembilan rakaat. Yang kami
dapati adalah bahwa beliau berwitir tiga rakaat dengan tidak disebutkan
tentang salam sedangkan tidak disebutkan itu tidak dapat diartikan bahwa
beliau tidak mengerjakan, bahkan mungkin beliau melakukannya.

Yang jelas tentang pelaksanaan yang tiga rakaat ini mengandung beberapa
ihtimaalat (kemungkinan), diantaranya kemungkinan beliau justru memberi
salam, karena demikialah yang kami tafsirkan dari shalat beliau yang sepuluh
rakaat, meskipun di sana tidak diceritakan tentang adanya salam setiap dua
rakaat, tapi berdasar keumuman sabdanya bahwa asal shalat malam atau siang
itu adalah dua rakaat, dua rakaat.

Sedangkan hadits Ubai bin Ka'ab yang sering dijadikan dasar tidak adanya
salam kecuali pada rakaat yang ketiga (laa yusallimu illa fii akhirihinna),
ternyata tambahan ini tidak dapat dipakai, karena Abdul Aziz bin Khalid
bersendiri dengan tambahan tersebut, sedangkan Abdul Aziz ini, tidak
dianggap tsiqah oleh ulama Hadits. Dalam at-Taqrib dinyatakan bahwa dia
maqbul apabila ada mutaba'ah (hadits lain yang mengiringi), kalau tidak ia
termasuk Layyinul Hadits. Di samping itu tambahan riwayatnya menyalahi
riwayat dari Sa'id bin Abi Urubah yang tanpa tambahan tersebut. Ibnu Nashr,
Nasai dan Daruqutni juga meriwayatkan tanpa tambahan. Dengan ini, jelas
bahwa tambahan tersebut adalah munkar dan tidak dapat dijadikan hujjah.

Tapi walaupun demikian diriwayatkan bahwa shahabat-shahabat Nabi shallallahu
`alaihi wa sallam mengerjakan witir tiga rakaat dengan tanpa memberi salam
kecuali pada rakaat yang terakhir dan ittiba' kepada mereka ini lebih baik
baik daripada mengerjakan yang tidak dicontohkan.

Dari sisi lain perlu juga diketengahkan bahwa terdapat banyak riwayat baik
dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, para shahabat ataupun tabi'in yaang
menunjukan tidak disukainya shalat witir tiga rakaat, diantaranya: "
Janganlah engkau mengerjakan witir tiga rakaat yang menyerupai Maghrib,
tetapi hendaklah engkau berwitir lima rakaat (HR. Al-Baihaqi).
Hadits ini tidak dapat dipakai karena mempunyai kelemahan pada sanadnya,
tapi Thahawi meriwayatkan hadits ini melalui jalan lain dengan sanad yang
shahih. Adapun maksudnya adalah melarang witir tiga rakaat apabila
menyerupai Maghrib yaitu dengan dua tasyahud, namun kalau witir tiga rakaat
dengan tidak pakai tasyahud awwal, maka yang demikian tidak dapat dikatakan
menyerupai. Pendapat ini juga dinyatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari
II:385 dan dianggap baik oleh Shan'aani dalam Subulus Salam II:8.

Kesimpulan dari yang kami uraikan di atas bahwa semua cara witir yang
disebutkan di atas adalah baik, hanya perlu dinyatakan bahwa witir tiga
rakaat dengan dua kali tasyahhud, tidak pernah ada contohnya dari Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam bahkan yang demikian tidak luput dari
kesalaahan, oleh karenanya kami memilih untuk tidak duduk di rakaat genap
(kedua), kalau duduk berarti memberi salaam, dan cara ini adalah yang lebih
utama

dari:http://www.perpustakaan-islam.com

Yang dimaksud bid'ah disini, seperti yang dijelaskan Syaikh Muhamamd
Nashiruddun Al-Albani, secara ringkas adalah : Apa yang banyak dilakukan
oleh kaum muslimin di masa sekarang, yang sering melakukan shalat gaib bagi
setiap orang yang meninggal di tempat lain. Terlebih lagi bila yang mati itu
orang yang terpandang atau mempunyai kedudukan. Sekalipun orang itu
meninggal di Tanah Haram, yang dishalati oleh ribuah muslimin di hadapan
Ka'bah (misalnya meninggal pada musim haji, penj). Dari kenyataan ini
dapatlah dipastikan akan bid'ahnya apa yang dilakukan kebanyakan orang di
masa kini yang sangat jauh menyalahi dan menyimpang dari ajaran As-Sunnah
serta apa yang dilakukan kaum salaf, radhiyallahu anhum ajma'in.

Adapun tentang shalat gaib itu sendiri, penjelasannya secara ringkas akan
saya salinkan dari kitab Ahkaamul Janaa'iz wa Bid'ihaa edisi Indoneia
Tuntunan Lengkap Mengurus Jenazah oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al-Albani.

[G] Barangsiapa yang meninggal di suatu negeri dan ternyata tidak ada orang
yang menshalatinya, maka hendaklah sekelompok kaum muslimin menshalatinya
secara gaib.

Tapi ada pendapat lain yang mengatakan, "Bukanlah merupakan sunnah beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk melakukan shalat gaib. Sebab terbukti
telah banyak dari kalangan muslimin yang mati di negeri lain, namun beliau
tidak menshalatinya. Memang benar ada riwayat yang menyatkan bahwa beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menshalati secara gaib raja Habasyah".
Dan mengenai hal ini muncul tiga pendapat para ulama.

[1] Riwayat tersebut merupakan aturan syariat sekaligus sunnah bagi umat
Muhammad untuk melakukan shalat gaib bagi setiap muslim yang meninggal di
negeri asing. Pendapat inilah yang dipahami Asy-Syafi'i dan Ahmad.

[2] Sementara Abu Hanifah dan Malik menyatakan bahwa kasus tersebut bersifat
khusus, dan bukan merupakan aturan pensyariatan bagi yang lain.

[3] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, "Yang benar adalah
dilaksanakannya shalat gaib apabila ada seorang muslim yang meninggal di
tempat (negeri) yang tidak ada orang yang menshalatinya. Ini seperti yang
dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika menshalati An-Najasyi,
karena ia meninggal di lingkungan masyarakat kafir sehingga tidak ada yang
menshalatinya. Namun meski seseorang meninggal di negeri yang penduduknya
kafir, selama ada yang menshalatinya, maka tak perlu untuk dishalati secara
gaib. Sebab, dalam keadaan demikian telah gugur hak kewajiban kaum muslimin
untuk menshalatinya. Dalam hal ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
pernah melakukannya dan sering meninggalkannya. Sedangkan yang makruf, apa
pun yang dilakukan oleh Nabi adalah sunnah, baik menjalankan maupun
meninggalkannya". Mengenai hal ini akan dibahas dalam kesempatan yang lain,
Walallahu a'lam.

Ketiga pendapat tersebut terangkum seluruhnya dalam pendapat madzhab Ahmad.
Inilah pendapat yang paling shahih.

Sementara itu, yang menjadi pilihan bagi sebagian peneliti di kalangan
madzhab Syafi'i adalah seperti yang saya kemukakan berikut. Al-Khitabi
mengatakan di dalam Ma'alimus-Sunnah, "An-Najasyi adalah seorang muslim.
Dia telah beriman kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan
membenarkan kenabiannya. Hanya saja ia merahasiakan ke-Islamannya. Dan
apabila seorang muslim meninggal maka wajib bagi kaum muslim lain
menshalatinya. Termasuk bila orang yang mati itu berada di tengah-tengah
masyarakat kafir dan tidak ada yang menshalatinya. Oleh karena itu,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengharuskan dirinya untuk
menshalatinya, di samping beliau sebagai Nabi dan panutan bagi umatnya juga
karena beliau adalah walinya dan lebih berhak atas mereka" Dan ini, wallahu
a'lam, barangkali yang menyebabkan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
melakukan dan menganjurkan untuk menshalati mayat secara gaib.

Atas dasar inilah, apabila seorang muslim meninggal di suatu negeri dan
telah dishalati oleh sejumlah penduduk setempat maka tak ada keharusan bagi
penduduk negeri yang lain menshalatinya secara gaib. Terkecuali, jika
diketahui di negeri tempat orang meninggal itu tidak ada orang yang
menshalatinya atau karena adanya suatu halangan, maka merupakan ajaran
As-Sunnah untuk menshalatinya sekalipun jaraknya sangat jauh.

Ar-Ruyani --salah seorang ulama besar madzhab Syafi'i-- telah menyatakan
dukungan dan kesepakatannya terhadap Al-Khithabi. Demikialah dengan Daud, ia
berpendapat sama dengan kedua ulama itu sehingga dalam kitab Sunnah-nya ia
telah membuat bab tersendiri degan tajuk, "Bab Menshalati Muslim yang
Meninggal di Bumi Musyrik". Pendapat ini juga telah menjadi pilihan peneliti
dari kalangan ulama kontemporer, yakni Al-Allamah Asy-Syaikh Shalih
Al-Maqbali, seperti dituturkan Asy-Syaukani di dalam Naulul Authar, dan
menyandarkan pedapatnya dengan berbagai riwayat tambahan lewat banyak jalur
sanad hadits, "Sesungguhnya saudara kalian telah meninggal bukan di negeri
kalian, maka dari itu marilah kita bersama-sama menshalatinya" Riwayat ini
sanadnya sesuai persyaratan Syaikhain.

Sebaliknya, kita temui pendapat yang mendukung tidak disyariatkannya
melakukan shalat ghaib setiap ada seseorang meninggal. Mereka beralasan
bahwa ketika para Khalifah as-Rasyidin meninggal, juga yang lainnya, kaum
muslimin tidak melakukan shalat gaib atas mereka. Kalau saja mereka
melakukan shalat gaib, pastilah akan diriwayatkan kepada kita lewat
pemberitaan yang mutawatir. Kenyataan sebaliknya adalah apa yang banyak
dilakukan kaum muslimin di masa sekarang, yang sering melakukan shalat gaib
bagi setiap orang yang meninggal di tempat lain. Terlebih lagi bila yang
mati itu orang yang terpandang atau mempunyai kedudukan. Padahal, boleh
jadi, mereka hanya bersandar pada kenyataan bahwa misalnya yang mati adalah
seorang politikus yang tidak diketahui sejauh mana pengabdiannya bagi
kepentingan Islam dan kaum muslimin. Atau sekalipun orang itu meninggal di
Tanah Haram, yang dishalati oleh ribuah muslimin di hadapan Ka'bah (misalnya
meninggal pada musim haji, penj). Dari kenyataan ini dapatlah dipastikan
akan bid'ahnya apa yang dilakukan kebanyakan orang di masa kini yang sangat
jauh menyalahi dan menyimpang dari ajaran As-Sunnah serta apa yang dilakukan
kaum salaf, radhiyallahu anhum ajma'in.

Permasalahan shalat Dhuha akan saya salinkan secara ringkas dari kitab Shalatut Tatawwu' Mafhumun, wa Fadhailun, wa Aqsamun, wa Anwa'un, wa Adabun fi Dhauil Kitabi wa Sunnah, edisi Indonesia Kumpulan Shalat Sunnah dan Kutamaannya oleh Dr.Said bin Ali bin Wahf Al-Qathhani.

HUKUM SHALAT DHUHA
Shalat Dhuha hukumnya sunnah muakkad (yang ditekankan) [Majmu' Fatawa Imam Abdul Aziz bin Baz, 11:399]. Karena Nabi melakukannya, menganjurkan para sahabat beliau untuk melakukannya dengan menjadikannya sebagai wasiat. Wasiat yang diberikan untuk satu orang oleh beliau, berarti juga wasiat untuk seluruh umat, kecuali bila ada dalil yang menunjukkan kekhususan hukumnya bagi orang tersebut. Dasarnya adalah hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu yang menceritakan :
"Kekasihku Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberi wasiat kepadaku dengan tiga hal yang tidak pernah kutinggalkan hingga meninggal dunia : Puasa tiga hari dalam sebulan, dua rakat'at shalat Dhuha, dan hanya tidur setelah melakukan shalat Witir" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim. Oleh Al-Bukhari no. 1981. Diriwayatkan oleh Muslim no. 721, telah ditahrij sebelum ini].

Imam An-Nawawi Rahimahullah mengunggulkan pendapat bahwa shalat Dhuha itu hukumnya sunnah muakkad, setelah beliau membeberkan hadits-hadits dalam persoalan itu. Beliau menyatakan : "Hadits-hadits itu semuanya sejalan, tidak ada pertentangan diantaranya bila diteliti. Walhasil, bahwa shalat Dhuha itu adalah sunnah muakkad" [Syarah An-Nawawi atas Shahih Muslim 5/237 dan lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar 3/57]

KEUTAMAAN SHALAT DHUHA
Teriwayatkan dalam hadits-hadits shahih di atas dan hadits-haits berikut.

1. Hadits Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda.

"Artinya : Pada setiap pagi, setiap sendi tubuh bani Adam harus bersedekah. Setiap tasbih bisa menjadi sedekah. Setiap tahmid bisa menjadi sedekah. Setiap tahlil bisa menjadi sedekah. Setiap takbir bisa menjadi sedekah. Setiap amar ma'ruf nahi munkar juga bisa menjadi sedekah. Semua itu dapat digantikan dengan dua raka'at yang dilakukan pada waktu Dhuha" [Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shalat Al-Musafirin wa-Qashriha, bab Istihbab Shalat Adh-Dhuha no. 720].

5. Hadits Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu tentang keutamaan shalat Dhuha bagi orang yang duduk di masjid sesudah Shubuh hingga terbit matahari. Rasulullah bersabda.

"Artinya : Barangsiapa melakukan shalat Shubuh berjama'ah, kemudian duduk dan berdzikir kepada Allah hingga terbit matahari, kemudian ia shalat dua raka'at, ia akan memperoleh pahala ibadah haji dan umrah, sempurna, sempurna dan sempurna" [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam kitab Al-Jum'at bab Ma Dzukira Mimma Yustahabu Minal Julus fil Masjid ba'da Shalat Ash-Shubhi hatta Tathlu'a Asy-Syamsu no. 586, dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi 1/181 dan saya mendengar Al-Imam Ibnu Baz rahimahullah menghasankannya karena banyak jalannya]

WAKTU SHALAT DHUHA

Waktu shalat Dhuha dari mulai meningginya matahari satu tombak hingga sebelum matahari berada di tengah langit, sebelum tergelincir. Yang paling afdhal, melakukan shalat itu ketika matahari sedang terik menyengat. Dasarnya adalah hadits Zaid bin Arqam Radhiyallahu 'anhu yang menceritakan
bahwa Nabi bersabda.

"Artinya : Shalat orang-orang yang khusu' beribadah adalah pada waktu anak-anak unta (fishal) kepanasan" [Tarmidhul Fishal, yaitu disaat terik panas tiba sehingga anak unta merasa kepanasan kakinya, lihat Syarah An-Nawawi atas Shahih Muslim 6/276]

Dalam lafazh lain disebutkan.
"Artinya : Shalat orang-orang yang khusu beribadah adalah ketika anak-anak unta (fishal) kepanasan" [Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shalat Al-Musafirin, bab Shalat Al-Awwabin hina Tarmidhul Fishal no. 748]

Barangsiapa yang melakukan shalat itu setelah matahari meninggi hingga satu tombak, tidak mengapa. Namun barangsiapa yang melakukannya ketika panas terik sebelum waktu yang dilarang shalat, itu lebih afdhal. [Lihat Majmu Fatawa Ibni baz 11/395]

JUMLAH RAKA'AT SHALAT DHUHA

Mengenai jumlah raka'at shalat Dhuha, tidak ada batasannya menurut pendapat shahih. Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mewasiatkan dilakukannya dua raka'at pada waktu Dhuha serta menjelaskan keutamannya.[Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 1981, Muslim no. 820-821, telah ditakhrij]

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah pernah melakukan shalat Dhuha enam rakaat. [Hadits Jabir dikeluarkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Ausath no.1066, 1067 (Majma Al-Bahrain) 1/276 dan At-Tirmidzi dalam Asy-Syama'il (ringkasan Al-Albani) no. 245 dan Al-Albani mengatakan shahih didalamnya hal.156, Irwa Al-Ghalil no.463 dan beliau menuturkan jalannya yang banyak, rujuklah kesana karena beliau memastikan keshahihannya, 2/217].

Dari Ummu Hani binti Abi Thalib juga diriwayatkan dengan shahih bahwa Nabi pernah shalat di rumah Ummu Hani pada hari pembebasan kota Mekkah sebanyak delapan raka'at setelah matahri meninggi mulai siang. Ummu Hani menyebutkan : "Belum pernah kulihat beliau shalat lebih ringkas dari shalat itu, namun beliau tetap menyempurnakan ruku dan sujud.[Muttafaq 'alaih, Al-Bukhari dalam kitab Taqsir Ash-Shalah, bab orang yang shalat sunnah dalam safar selain sesudah dan sebelum shalat fardhu no.1103. Muslim dalam kitab Shalat Al-Musafirin bab Istihbab Shalat Adh-Dhuha, no. 336]

[Diringkas dari Kumpulan Shalat Sunnah dan Keutamaannya, hal.82-89
Darul Haq]

Allah Subhannahu wa Ta'ala telah mewajibkan umat Islam untuk melaksanakan shalat lima waktu dalam sehari semalam. Tidak diragukan lagi, bahwa shalat yang lima waktu ini merupakan tiang agama Islam dan salah satu dari rukun-rukunnya. Di samping shalat fardhu, terdapat pula beberapa jenis shalat yang sifatnya tathawwu’ (sukarela), di dalam makna bukan merupakan kewajiban yang mutlak. Seluruh shalat yang disyariat-kan di dalam Islam selain yang lima waktu dan sifatnya merupakan tamba-han, maka ia disebut sebagai shalat tathawwu’.

Diriwayatkan, bahwa suatu ketika ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam dan bertanya tentang Islam, maka dijawab oleh beliau, “Lima shalat dalam sehari semalam”. Berkata laki-laki tersebut, “Adakah kewajiban (shalat) yang lain atasku? Nabi menjawab, “Tidak ada, kecuali atas kemauanmu sendiri (tathawwu’).” (HR. Al-Bukhari)

1. Macam-Macam Shalat Tathawwu’.

Shalat Sunnah Rawatib

Yang dimaksud dengan shalat sunnah rawatib adalah shalat yang dianjurkan atau dilakukan sendiri oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam yang beriringan dengan shalat lima waktu, baik sebelum atau sesudahnya. Dalil yang mengisyarat-kan hal itu adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, “Tiadalah seorang hamba melakukan shalat karena Allah setiap harinya dua belas raka’at atas kemauan sendiri dan bukan karena wajib, melainkan Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di Surga.”

Rincian dari Sunnah Rawatib ini adalah sebagai berikut:

*

Dua raka’at sebelum fajar (Subuh).
*

Empat raka’at sebelum Zhuhur dan dua atau empat raka’at setelahnya.
*

Empat raka’at sebelum Ashar.
*

Dua Raka’at sebelum Maghrib dan dua setelahnya.
*

Dua Raka’at sebelum Isya’ dan dua setelahnya.

Shalat Malam serta Shalat Witir

Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, “Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan-bulan Allah yang haram, dan shalat paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam.” (HR. Muslim)

Dalam hadits lain dari Ibnu Umar Radhiallaahu anhu beliau juga bersabda, “Jadikanlah akhir shalatmu di waktu malam adalah ganjil (witir).” (Muttafaq ‘alaih)
Diriwayatkan dari Aisyah Radhiallaahu anha ia berkata, “Rasulullah biasa melakukan shalat antara selesai Isya’ hingga fajar sebanyak sebelas rakaat, beliau bersalam setiap dua raka’at dan berwitir satu kali.” (HR. Muslim)

Temasuk dalam kategori shalat malam adalah shalat tarawih di bulan Ramadhan yang dianjurkan agar dilakukan secara berjama’ah karena keutamaannya sangat besar.

Shalat Dhuha/Isyraq

Jumlah raka’at yang dianjurkan adalah dua, empat, enam, delapan atau dua belas raka’at, kesemuanya memiliki dasar dari hadits Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam.
Dari Abu Darda’ Radhiallaahu anhu ia berkata, bersabda Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam , ”Berpagi-pagi setiap persendian salah seorang dari kalian harus bersedekah, setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, amar ma’ruf sedekah dan nahi mungkar sedekah. Sepadan dengan itu semua dua raka’at yang dilakukan pada waktu dhuha.” (HR. Muslim)

Shalat Sunnah Wudhu

‘Imran bekas budak Utsman Radhiallaahu anhu menceritakan, bahwa ia pernah melihat Utsman bin Afan minta air lalu berwudhu dengannya. Selesai wudhu ia berkata, telah bersabda Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam, “Barang siapa berwudhu (seperti wudhuku ini) lalu shalat dua raka’at dan tidak berbicara terhadap diri sendiri, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”(HR. Al-Bukhari-Muslim)

Shalat Tahiyatul Masjid

Dianjurkan kepada setiap muslim untuk melakukan shalat dua raka’at ketika masuk masjid dan ingin duduk di dalamnya.
Diriwayatkan dari Abu Qatadah as-Sulami Radhiallaahu anhu ia berkata, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka hendaklah rukuk dua kali rukuk (shalat dua rakaat) sebelum duduk.”(HR. al-Bukhari-Muslim)

Dalam riwayat al-Bukhari disebutkan, “Apabila salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka janganlah duduk sehingga shalat dua raka’at.”
Shalat antara Adzan dan Iqamah
Dari Abdullah bin Mughaffal berkata, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, “Di antara dua adzan ada shalat, di antara dua adzan ada shalat, pada kali ke tiga beliau mengatakan, bagi siapa yang menghendaki.” (HR . Syaikhani)

Shalat Taubat

Dari Ali bin Abi Thalib Shallallaahu alaihi wa Salam ia berkata, ”Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, “Tidaklah seseorang melakukan dosa kemudian ia bersuci (berwudhu) dan shalat lalu minta ampun kepada Allah, melainkan Allah akan mengampuni dosanya itu, beliau lalu membacakan firman Allah (QS. Ali Imran 135). (HR. at-Tirmidzi,
Abi Dawud dan dihasankan oleh al-Albani)

Shalat Sebelum Jum’at

Dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu, dari Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam beliau bersabda, “Barangsiapa mandi kemudian mendatangi Jum’at, lalu shalat semampu yang ia lakukan, kemudian diam hingga imam selesai dari khutbahnya dan shalat bersamanya, maka diampuni dosa antara Jum’at sebelumnya ditambah lagi tiga hari.” (HR. Muslim)

Shalat Ba’diyah Jum’at

Dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu ia berkata, Rasululllah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, ”Apabila salah seorang di antara kalian telah selesai Shalat Jum’at, maka hendaklah shalat empat rakaat sesudahnya” (HR Muslim)

Shalat Datang dari Safar

Dari Ka’ab bin Malik ia berkata, ”Adalah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam apabila datang dari safar yang pertama dituju adalah masjid, lalu shalat di sana dua rakaat, kemudian duduk bersama orang- orang.”

Shalat Istikharah

Dari Jabir bin Abdullah Radhiallaahu anhu ia berkata, alah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam mengajarkan kepada kami istikharah (minta pilihan) dalam beberapa masalah, sebagaimana mengajarkan satu surat dari al-Qur’an.Beliau bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian ragu-ragu akan suatu urusan, maka shalatlah dua raka’at, bukan wajib lalu mengucapkan, “Allahumma inni astkhiruka…dst. (HR. Al-Bukhari)

Shalat Gerhana

Hukumnya sunnah muakkadah berdasarkan hadits Aisyah Radhiallaahu anha, dan disebutkan, bahwa shalat yang dilakukan adalah panjang, baik dalam berdiri, rukuk maupun sujud. Nabi dan para shahabat melakukan shalat ini sebanyak dua rakaat, dilakukan di masjid dengan tanpa adzan dan iqamah.

Shalat Idain

Disebutkan, bahwa Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam tidak pernah meninggalkannya, dan beliau menyuruh orang-orang untuk ke luar menuju mushalla (tanah lapang).
Diriwayatkan dari Ummu Athiyah ia berkata, “Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam memerintahkan kami agar ke luar pada dua hari raya, juga kepada para gadis dan anak-anak yang mendekati usia baligh. Beliau memerintahkan agar wanita yang sedang haid menjauhi tempat shalat-nya kaum muslimin.” (HR. Syaikhani)

Shalat Istisqa’

Yaitu shalat minta hujan dan disyariatkan ketika lama tidak turun hujan sehingga mengalami kekeringan.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu ia berkata, “Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam ke luar dengan berpakaian sederhana, penuh tawadhu’ dan kerendahan. Sehingga tatkala sampai di mushalla, beliau naik ke atas mimbar, namun tidak berkhutbah sebagaimana khutbah kalian ini. Beliau terus menerus berdo’a, merendah kepada Allah, bertakbir kemudian shalat dua raka’at seperti shalat ketika Ied. (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi dan di hasankan oleh al-Albani)

Shalat Jenazah

Menyalatkan jenazah seorang muslim hukumnya fardhu kifayah, apabila sebagian sudah ada yang melaksanakan, maka yang lain gugur kewajibannya. Shalat jenazah memiliki keutamaan yang amat besar sebagai-mana disebutkan dalam banyak hadits Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam .

BEBERAPA MASALAH BERKAITAN DENGAN SHALAT SUNNAH

*

Shalat Sunnah Lebih Utama Dilakukan di Rumah.
Terkecuali dalam shalat-shalat yang secara khusus telah dijelaskan dengan dalil yang lebih rinci. Hal ini berda-sarkan keumuman hadits dari Zaid bin Tsabit Radhiallaahu anh, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, “Shalatlah kalian wahai manusia di dalam rumah kalian, karena sesung-guhnya shalat yang paling utama adalah shalatnya seseorang di dalam rumah-nya, kecuali shalat maktubah.” (HR. Syaikhoni)

*

Rutin Menunaikan Shalat Tathawwu’ lebih Utama Meskipun Sedikit.
Diriwayatkan dari Aisyah Radhiallaahu anha, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, “Wahai manusia hendaknya kalian beramal sesuai dengan kemampuan, karena sesungguhnya Allah itu tidak akan bosan, sehingga kalian sendiri yang bosan. Dan sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah adalah yang dikerjakan terus menerus meskipun sedikit.” (Muttafaq ‘alaih).

*

Duduk dalam Shalat Sunnah
Dari Imran bin Hushain ia bertanya kepada Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam tentang sese- orang yang shalat dalam keadaan duduk, maka beliau menjawab, “Jika ia shalat dengan berdiri, maka itu lebih utama, barang siapa yang shalat dengan duduk, maka ia mendapat separuh pahala orang yang berdiri dan barang siapa yang shalat dengan berbaring, maka ia mendapat pahala separuh orang yang duduk.”(HR. Al-Bukhari)
Berkata at-Tirmidzi, “Menurut sebagian ulama yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah shalat sunnah.”

*

Shalat Sunnah di atas Kendaraan
Dari Ibnu Umar Radhiallaahu anhu ia berkata, “Adalah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam melakukan shalat di atas kendaraan ke manapun beliau menghadap, beliau juga berwitir di atasnya. Hanya saja ia tidak melakukan hal itu dalam shalat wajib (maktubah.”

*

Shalat Sunnah ketika Safar
Tidak ada petunjuk dari Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam tentang shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat wajib ketika dalam kondisi safar kecuali qabliyah Subuh. Yang biasa beliau lakukan adalah shalat sunnah muthlaq.
Dari Amir bin Rubaiah ia berkata, “Aku melihat Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam di atas onta melakukan shalat dengan isyarat kepalanya. Beliau menghadap ke arah mana saja (tidak harus mengarah kiblat, red). Tidak pernah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam melakukan yang demikian di dalam shalat wajib.” (Muttafaq ‘alaih)

*

Shalat Sunnah dengan Berjama’ah
Diperbolehkan shalat sunnah dengan berjama’ah, akan tetapi tidak boleh menyengaja secara terus mene-rus. Anas bin Malik Radhiallaahu anhu menceritakan, bahwa neneknya -Malikah-, pernah mengundang Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam untuk makan di rumahnya. Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam memenuhi undangan tersebut, dan seusai makan beliau bersabda, “Berdirilah kalian semua, aku akan shalat untuk kalian.”


* Shalat yang Utama adalah yang Panjang Bacaannya.
Dari Jabirzia berkata, Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Shalat yang paling utama adalah yang panjang berdirinya (baca-annya, red).” (HR. Muslim)
Sumber : Buletin, “Ashshalawatu ghairul mafrudhah.” Abdullah al-Qarni.

Shalat berjamaah merupakan amal yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam . Sebagaimana sabdanya, “Shalat berjamaah lebih afdhal dari shalat sendirian dua puluh derajat”. Ketika shalat berjamaah, meluruskan dan merapatkan shaf (barisan) sangat diperintahkan, sebagaimana di dalam sabda Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam, Artinya, “Luruskan shafmu, karena sesungguhnya meluruskan shaf itu merupakan bagian dari kesempurnaan shalat”. (Muttafaq ‘Alaih).

Hadits ini dan hadits-hadits lain yang semisal, kata Ibnu Hazm, merupakan dalil wajibnya merapikan shaf sebelum shalat dimulai. Karena menyempurnakan shalat itu wajib, sedang kerapihan shaf merupakan bagian dari kesempurnaan shalat, maka merapikan shaf merupakan kewajiban. Juga lafaz amr (perintah) dalam hadits di atas menunjukkan wajib. Selain itu, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam setiap memulai shalat, selalu menghadap kepada jamaah dan memerintahkan untuk meluruskan shaf, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik Radhiallaahu anhu.

Teladan dari Nabi dan Para Shahabat

Umar bin Khaththab pernah memukul Abu Utsman An-Nahdi karena ke luar dari barisan shalatnya. Juga Bilal pernah melakukan hal yang sama, seperti yang dikatakan oleh Suwaid bin Ghaflah bahwa Umar dan Bilal pernah memukul pundak kami dan mereka tidak akan memukul orang lain, kecuali karena meninggalkan sesuatu yang diwajibkan (Fathul Bari juz 2 hal 447). Itulah sebabnya, ketika Anas tiba di Madinah dan ditanya apa yang paling anda ingkari, beliau berkata, “Saya tidak pernah mengingkari sesuatu melebihi larangan saya kepada orang yang tidak merapikan shafnya.” (HR. A-Bukhari).

Bahkan Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam sebelum memulai shalat, beliau berjalan merapikan shaf dan memegang dada dan pundak para sahabat dan bersabda, "Wahai sekalian hamba Allah! Hedaklah kalian meluruskan shaf-shaf kalian atau (kalau tidak), maka sungguh Allah akan membalikkan wajah-wajah kalian." (HR. Al-Jama'ah, kecuali al-Bukhari)

Di dalam riwayat Abu Hurairah, dia berkata, "Rasulullah biasa masuk memeriksa ke shaf-shaf mulai dari satu ujung ke ujung yang lain, memegang dada dan pundak kami seraya bersabda, "Janganlah kalian berbeda (tidak lurus shafnya), karena akan menjadikan hati kalian berselisih" (HR. Muslim)
Imam Al-Qurthubi berkata, “Yang dimaksud dengan perselisihan hati pada hadits di atas adalah bahwa ketika seorang tidak lurus di dalam shafnya dengan berdiri ke depan atau ke belakang, menunjukkan kesombongan di dalam hatinya yang tidak mau diatur. Yang demikian itu, akan merusak hati dan bisa menimbulkan perpecahan (Fathul Bari juz 2 hal 443). Pendapat ini juga didukung oleh Imam An-Nawawi, beliau berkata, berbeda hati maksudnya terjadi di antara mereka kebencian dan permusuhan dan pertentangan hati. Perbedaan ketika bershaf merupakan perbedaan zhahir dan perbedaan zhahir merupakan wujud dari perbedaan bathin yaitu hati.

Sementara Qhadhi Iyyadh menafsirkannya dengan mengatakan Allah akan mengubah hati mereka secara fisik, sebagaimana di dalam riwayat lain (Allah akan mengubah wajah mereka). Hal itu merupakan ancaman yang berat dari Allah, sebagaimana Dia mengancam orang yang mengangkat kepalanya sebelum imam (i’tidal), maka Allah akan mengubah wajahnya menjadi wajah keledai. Imam Al-Kirmani menyimpulkan, akibat dari pertentangan dan perbedaan di dalam shaf, bisa menimbulkan perubahan anggota atau tujuan atau juga bisa perbedaan balasan dengan memberikan balasan yang sempurna bagi mereka yang meluruskan shaf dan memberikan balasan kejelekan bagi mereka yang tidak meluruskan shafnya.

Berdiri di dalam shaf bukan hanya sekedar berbaris lurus, tetapi juga dengan merapatkan kaki dan pundak antara satu dengan yang lainnya seperti yang dilakukan oleh para shahabat. Diriwayatkan oleh Ibnu Umar Radhiallaahu anhu Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, Artinya “Rapatkankan shaf, dekatkan (jarak) antara shaf-shaf itu dan ratakan pundak-pundak.” (HR. Abu Daud dan An-Nasai, dishahihkan oleh Ibnu Hibban).

Di dalam riwayat lain oleh Abu Dawud Rasulullah bersabda, Artinya “Demi jiwaku yang ada di tanganNya, saya melihat syaitan masuk di celah-celah shaf, sebagaimana masuknya anak kambing.”

Posisi Makmum di Dalam Shalat

Apabila imam shalat berjamaah hanya dengan seorang makmum, maka dia (makmum) disunnahkan berdiri di sebelah kanan imam(sejajar dengannya), sebagaimana yang diceritakan oleh Ibnu Abbas bahwa beliau pernah shalat berjamaah bersama Rasulullah Shalallaju 'alaihi wa sallam pada suatu malam dan berdiri di sebelah kirinya. Maka Rasulullah Shalallaju 'alaihi wa sallam memegang kepala Ibnu Abbas dari belakang lalu memindahkan di sebelah kanannya (Muttafaq ‘Alaih).

Apabila makmum terdiri dari dua orang, maka keduanya berada di belakang imam, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, beliau bersabda, Artinya “Rasulullah shalat maka saya dan seorang anak yatim berdiri di belakangnya dan Ummu Sulaim berdiri di belakang kami” (Muttafaq ‘Alaih).

Adapun pendapat Kufiyyun (Ulama-ulama’ Kufah) yang mengatakan bahwa kalau makmum terdiri dari dua orang maka yang satunya berdiri di sebelah kanan Imam dan yang lainnya di sebelah kirinya, maka hal itu dibantah oleh Ibnu Sirin, seperti yang diriwayatkan oleh Attahawi bahwa yang demikian itu hanya boleh diamalkan, ketika shalat di tempat yang sempit yang tidak cukup untuk membuat shaf di belakang.

Hadits di atas juga menjelaskan bahwa makmum wanita mengambil posisi di belakang laki-laki, sekali pun harus bershaf sendirian. Dan dia tidak boleh bershaf di samping laki-laki, apalagi di depannya. Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang pertama dan seburuk-buruknya adalah yang terakhir. Sebaliknya bagi wanita, sebaik-baik shaf baginya adalah yang terakhir dan yang paling buruk adalah yang pertama. (HR. Muslim dari Abu Hurairah). Dan shaf yang paling afdhal adalah di sebelah kanannya imam. Dan dari situlah dimulainnya membuat shaf baru, sebagaimana yang dikata-kan oleh Barra’ bin ‘Azib dengan sanad yang shahih. Menyempurnakan shaf terdepan adalah yang dilakukan oleh para malaikat, ketika berbaris di hadapan Allah.

Di riwayatkan oleh Abu Dawud dari Jabir bin Samurah ia berkata, “Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, ”Tidakkah kalian ingin berbaris, sebagaimana para malaikat berbaris di hadapan Rabb mereka.” Maka kami bertanya, “Bagaimanakah para malaikat berbaris di hadapan Rabb?” Beliau menjawab, “Mereka menyempurnakan barisan yang depan dan saling merapat di dalam shaf.”

Dibolehkan seorang makmum shalat di lantai dua dari masjid atau dipisahkan dengan tembok atau lainnya dari imam, selama dia mendengar suara takbir imam. Sebagaimana yang dikatakan oleh Hasan, “Tidak mengapa kamu shalat berjamaah dengan imam, walaupun di antara kamu dan imam ada sungai”. Ditambahkan oleh Abu Mijlaz, selama mendengar takbirnya imam (Shahih Al-Bukhari). Dan sebagian ulama juga menyaratkan harus bersambungnya shaf, namun hal ini masih diperdebatkan di antara para ulama. Juga kisah qiyamuramadhan (shalat tarawih), yang pertama kali yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam .

Larangan Membuat Shaf Sendirian

Seorang makmum dilarang membuat shaf sendirian, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Wabishah bin Mi’bad, bahwa Rasulullah melihat seseorang shalat di belakang shaf sendirian, maka beliau memerintahkan untuk mengulang shalatnya (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban).

Dan pada riwayat Thalq bin Ali ada tambahan, “Tidak ada shalat bagi orang yang bersendiri di belakang shaf”. Walaupun demikian sebagian ulama’ tetap menyatakan sah shalat seorang yang berdiri sendiri dalam satu shaf karena alasan hadits di atas sanadnya mudltharib (simpang siur), sebagai-mana yang dikatakan oleh Ibnu Abdil Barr.

Menurut Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, jika seseorang menjumpai shaf yang sudah penuh, sementara ia sendirian dan tidak ada yang ditunggu, maka boleh baginya shalat sendiri di belakang shaf itu. Karena apabila ada larangan berhada-pan dengan kewajiban (jamaah bersama imam, red), maka di dahulu-kan yang wajib.

Untuk menjaga keutuhan shaf boleh saja seorang maju atau bergeser ketika mendapatkan ada shaf yang terputus. Sabda Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam yang diriwayatkan oleh Abu Juhaifah beliau bersabda, “Barangsiapa yang meme-nuhi celah yang ada pada shaf maka Allah akan mengampuni dosanya.” (HR. Bazzar dengan sanad hasan).

Tiada langkah paling baik melebihi yang dilakukan oleh seorang untuk menutupi celah di dalam shaf. Dan semakin banyak teman dan shaf dalam shalat berjamaah akan semakin afdhal, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ubay bin Ka’ab, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, Artinya “Shalat seorang bersama seorang lebih baik daripada shalat sendirian dan shalatnya bersama dua orang lebih baik daripada shalatnya bersama seorang. Dan bila lebih banyak maka yang demikian lebih disukai oleh Allah ‘Azza wa Jalla.” (Muttafaq ‘Alaih).

Dan ketika memasuki shaf untuk shalat disunahkan untuk melakukannya dengan tenang tidak terburu-buru, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abi Bakrah, bahwasanya ia shalat dan mendapati Nabi sedang ruku’ lalu dia ikut ruku’ sebelum sampai kepada shaf, maka Nabi berkata kepadanya, Artinya “Semoga Allah menambahkan kepadamu semangat (kemauan), tetapi jangan kamu ulangi lagi.” (HR. Al Bukhari) dan dalam riwayat Abu Daud ada tambahan: “Ia ruku’ sebelum sampai di shaf lalu dia berjalan menuju shaf.” (Nurul Mukhlisin)

Wahai saudaraku…semoga Allah subhanahu wata’ala senantiasa memberikan keselamatan kepadamu dan selalu menjaga dirimu. Janganlah engkau merasa sayang meluangkan sedikit waktumu untuk membaca lembaran ini. Siapa tahu Allah subhanahu wata’ala akan memberikan manfaat kepadamu dan kepada kita semua.

Suatu malam seorang lelaki shalih bangun dari tidurnya…ketika itu menjelang akhir malam mendekati waktu Fajar… ia dapati istrinya sedang bertahajjud, shalat dan berdoa dengan linangan air mata, memohon kepada Allah dengan segenap ketulusan hati. Lelaki itu sejenak tertegun melihat keshalihan istrinya, bagaimana dia seorang laki-laki asyik tidur, sementara sang istri begitu zuhud dan giat beribadah? Maka disapanya sang istri, "Tidakkah engkau tidur, apakah gerangan yang membuatmu seperti itu hingga larut begini? Maka istri yang shalihah itu menjawab, "Bagaimana akan tidur, seseorang yang tahu bahwa kekasihnya (Allah subhanahu wata’ala)tidak pernah tidur?”

Keutamaan Qabliyah Shubuh

Qabliyah Shubuh yaitu shalat sunnah dua raka’at yang dilakukan sebelum shalat Shubuh. Ia merupakan amalan yang paling dicintai oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana disebutkan di dalam sabdanya, artinya,
"Dua raka’at Fajar(sebelum Shubuh) lebih baik daripada dunia seisinya." Dan dalam riwayat Muslim disebutkan, "Sungguh dua raka’at itu (sebelum Shubuh) lebih aku cintai daripada seluruh dunia."

Jika dunia dengan segenap isi dan perbendaharaannya di mata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak dapat menyamai dua rakaat sebelum Shubuh maka bagaimana lagi keutamaan shalat Shubuh itu sendiri.

Keutamaan Shalat Shubuh

*

Sebagai Sebab Masuk Surga dan Selamat dari Neraka

Disebutkan di dalam sebuab hadits bahwa siapa saja yang menjaga shalat Shubuh dan Ashar maka akan dimasukkan ke dalam Surga dan dijauhkan dari api neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallambersabda dalam hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim, "Barang siapa yang shalat di dua waktu yang sejuk maka dia akan masuk surga." Dan dalam hadits yang lain beliau bersabda, "Tidak akan dijilat api neraka seseorang yang shalat sebelum Matahari terbit dan sebelum tenggelam." Yang dimaksudkan dengan dua waktu yang sejuk adalah waktu shalat Shubuh dan shalat Ashar.

*

Disaksikan Malaikat

Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Dirikanlah shalat dari sesudah Matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) Subuh. Sesungguhnya shalat Subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. 17:78)

Shalat Shubuh, disebut Qur'anul Fajr karena bacaan al-Qur'an pada shalat ini lebih panjang daripada shalat-shalat yang lain, dan shalat Shubuh ini disaksikan oleh para malaikat. Terkait dengan ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan dalam sebuah haditsnya,
"Malaikat saling bergantian dalam mengawasi kalian semua pada waktu malam, dan juga malaikat pengawas di waktu siang, mereka berkumpul pada waktu shalat Shubuh dan shalat Ashar. Kemudian malaikat yang berjaga malam hari naik, lalu Allah bertanya kepada mereka tentang hamba-hamba-Nya sedangkan Allah lebih tahu keadaan mereka, "Bagaimana keadaan hamba-hamba-Ku ketika kalian tinggalkan? Maka para malaikat menjawab, "Kami tinggalkan mereka dalam keadaan shalat, dan ketika kami datang mereka pun juga sedang dalam keadaan shalat."

Sungguh bahagia orang-orang yang mau memerangi diri, bangkit meninggalkan kasur-kasur mereka. Berjuang keras melawan segala yang menariknya ke tempat tidur, rasa kantuk, dingin, malas dan lain sebagainya. Mereka berharap untuk mendapatkan tiket yang begitu mahal, terbebas dari sifat nifaq, dan untuk menggapai apa yang dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, masuk surga. Mereka juga ingin mendapatkan persaksian mulia dari para malaikat, ingin menjadi hamba-hamba yang ditanyakan Allah keadaannya, lalu dijawab oleh para malaikat bahwa mereka sedang shalat.

*

Allah Bersumpah dengan Waktu Fajar

Karena besarnya keutamaan waktu Shubuh ini maka Allah subhanahu wata’ala bersumpah dengan menggunakan waktu itu, Dia berfirman,
“Demi fajar, dan malam yang sepuluh.” (QS. 89:1-2)

*

Memberi Banyak Manfaat

Wahai saudaraku, merupakan ciri khas dari shalat Shubuh ini adalah bahwasanya dia dapat menyegarkan dan memperbaharui keimanan, menghidupkan hati, melapangkan dada, membuat jiwa penuh dengan kebahagiaan serta menjadikan berat timbangan amal kebaikan.

Sesungguhnya nikmatnya tidur pada waktu Shubuh yang hanya sekian menit tidaklah sebanding dengan kengerian di kubur, atau kengerian jurang-jurang di neraka. Kala itu seseorang hanya mampu menggigit jari menyesal untuk selama-lamanya seraya mengatakan, “Wahai Rabb kembalikan aku ke dunia, aku akan melakukan amal shalih yang dulu aku tinggalkan." Betapa celaka, kenikmatan yang di akhiri dengan penyesalan, dan kenyamanan yang membawa penderita an begitu menyakitkan.

Saudaraku tercinta, cobalah kita ingat nikmat Allah yang terus menerus mengiringi kita tiada henti, coba bandingkan kondisi anda dengan kondisi orang lain. Ketika mereka berbaring di tempat tidur, kepala mereka masih diselimuti oleh berbagai beban berat, kegalauan dan kekhawatir an, apa yang akan dimakan besok? Sementara tubuh diliputi rasa penat dan lelah, setelah seharian mencari sesuap nasi untuk menghilang kan rasa lapar. Sebagian dari mereka ketika bangun di pagi hari terkadang ditemani oleh dentuman meriam dan rentetan tembakan senapan, sementara perut terasa lapar sedang hawa pun demikian dingin menyengat. Di sisi mereka anak-anak yang masih kecil menangis, berteriak kelaparan dan mengeluh kesakitan.

Adapun kita…sungguh kita dalam keadaan aman ketika makan dan minum, badan kita pun sehat, masih punya kekuatan dan umur. Maka janganlah itu semua menipu dan membuat kita terlena, dengan menggunakan kenikmatan tersebut untuk kemaksiatan dan dosa serta lupa bersyukur kepada Allah subhanahu wata’ala yang telah melimpahkan segala nikmat dengan tanpa batas.

Saudaraku, apakah engkau merasa aman ketika menuju pembaringanmu, padahal boleh jadi ia adalah tidur terakhirmu di dunia. Engkau tidak bangun lagi setelahnya dan ketika bangun tahu-tahu engkau telah berada di alam kubur. Maka selayaknya kita bersiap-siap selagi kita masih berada di dunia ini. Siapkanlah jawaban untuk di kubur, jawaban yang benar dan lurus tentunya. Jangan lupa kita selalu memohon kepada Allah subhanahu wata’ala agar menjadikan kita semua orang-orang yang mau mendengarkan ucapan dan mau mengikuti mana yang baik di antara ucapan itu, menjadikan akhir kehidupan kita dengan akhir kehidupan yang baik dan bahagia, dan mudah-mudahan Allah subhanahu wata’ala menolong kita untuk selalu berdzikir mengingat-Nya, bersyukur kepada-Nya dan memperbaiki ibadah hanya kepada-Nya.

Jika Shalat Shubuh Diremehkan

Allah subhanahu wata’ala berfirman,
“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu merupakan kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. 4:103-104)

Islam adalah jalan kehidupan yang universal dan mencakup seluruh sisi kehidupan manusia. Islam merupakan sebuah ikatan antara seorang hamba dengan Rabbnya, Allah subhanahu wata’alaberfirman,
“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu), "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia,dan jangan kamu menyembunyi kannya," lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruk tukaran yang mereka terima.” (QS. 3:187)

Maka seorang hamba harus iltizam (komitmen) terhadap kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh Rabbnya. Dan Allah subhanahu wata’ala pun telah memberikan berbagai macam hak manusia dan berikut keistimewaannya dan pada akhirnya seorang hamba akan mendapatkan haknya yang terbesar sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, artinya,
"Dan hak hamba atas Allah adalah Allah tidak menyiksa siapa saja yang tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apa pun."

Allah subhanahu wata’ala berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. 2:208)

Para mufassirin mengatakan tentang makna ayat ini (yaitu), "Terimalah Islam dengan segenap hukum dan syari'atnya." Allah subhanahu wata’ala telah murka kepada bani Israil yang hanya menerima sebagian ajaran agama yang mereka kehendaki serta enggan mengerjakan sebagian yang lainnya. Maka Allah subhanahu wata’ala berfirman
“Apakah kamu beriman kepada sebagian dari Al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain?” (al Baqarah:85)

Ibnu Mas'ud radhiallahu ‘anhu memvonis orang yang tidak shalat Shubuh dan Ashar dengan berjama'ah sebagai munafiq ma'lumun nifaq (yang nyata nifaqnya) maka bagaimana dengan orang yang sama sekali tidak mengerjakan shalat, berjama'ah maupun tidak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah bersabda, artinya,
"Tidak ada shalat yang lebih berat bagi orang-orang munafiq daripada shalat Subuh dan Isya'. Seandainya mereka mengetahui besarnya pahala kedua shalat tersebut, niscaya akan mendatanginya meskipun dengan merangkak." (HR al-Bukhari)

Allah subhanahu wata’ala berlepas diri dari orang- orang yang meninggalkan shalat fardu lima waktu, sebagaimana disebutkan di dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam artinya,
"Janganlah engkau meninggalkan shalat dengan sengaja, karena sesungguhnya siapa saja yang meninggalkan shalat dengan sengaja maka tanggungan Allah dan Rasul-Nya telah terelepas darinya." (HR Ahmad dalam al-Musnad)

Solusi

Di antara solusi yang insya Allah dapat membantu kita menjadi orang-orang yang dapat menjaga shalat adalah sebagai berikut :

*

Hendaknya memposisikan shalat sesuai dengan kedudukannya dalam kehidupan kita, sehingga dalam seluruh aktivitas kehidupan kita senantiasa menekankan masalah shalat ini, bukan sebaliknya menyepelekannya.

*

Mempergunakan jam(bel/weker) untuk membangunkan kita agar tidak terlambat dalam menjalankan shalat Shubuh.

*

Tidur lebih awal, agar dapat bangun lebih awal pula, dan usahakan melakukan pekerjaan atau aktivitas setelah selesai shalat Shubuh. Karena Allah subhanahu wata’ala membagi rizki-Nya pada waktu setelah Shubuh ini.

*

Membiasakan untuk membaca dzikir dan do’a sebelum tidur, dan memohon kepada Allah subhanahu wata’ala agar menolong kita untuk selalu mengerjakan shalat.

*

Merasa sangat bersalah dan berdosa ketika kita ketinggalan shalat dan berusaha sekuat tenaga untuk tidak mengulangi kesalahan itu.

Dialihbahasakan dari brosur berbahasa Arab dengan tema Keutamaan Shalat Shubuh dan Qabliyah Shubuh. (Khalif)

Beberapa kekeliruan berpakaian di dalam shalat yang kami ambil dari kitab “al-Muhkam al- Matin” , ringkasan dari kitab “al-Qaul al-Mubin fi Akhta’ al Mushallin” karya syaikh Masyhur bin Hasan al-Salman.

Di antara kekeliruan tersebut adalah:

* Shalat dengan pakaian ketat

Memakai pakaian ketat dalam shalat adalah makruh dalam tinjauan syar'i dan tidak baik dari segi kesehatan. Jika ketika memakainya sampai tingkat meninggalkan shalat (dengan alasan susah untuk melakukan gerakan ini dan itu), maka hukum memakainya menjadi haram. Dan terbukti bahwa kebanyakan orang yang memakai celana ketat adalah mereka yang tidak shalat atau jarang melakukannya.

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata, "Celana panjang (ketat, red) itu membentuk aurat, dan aurat laki-laki adalah dari lutut sampai pusar. Seorang yang sedang shalat harus semaksimal mungkin menjauhi segala kemaksiatan ketika dia sedang sujud, yakni dengan terlihat bentuk kedua pantatnya (karena sempitnya celana itu-red), atau bahkan membentuk aurat yang ada di antara keduanya (kemaluan). Maka bagaimana orang seperti ini berdiri di hadapan Rabb seru sekalian alam?

Jika celana yang dipakai adalah longgar maka menurut Syaikh al-Albani tidak apa-apa, namun yang lebih utama adalah dengan mengenakan gamis (baju panjang) hingga menutupi lutut, atau setengah betis dan boleh dijulurkan maksimal hingga mata kaki.

* Shalat dengan pakaian tipis atau asal-asalan

Tidak boleh shalat dengan pakaian tipis yang menampakkan anggota badan, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang di masa ini. Dengan sengaja memakainya maka berarti sengaja memperlihatkan bagian auratnya yang seharusnya tertutup. Mereka telah tergiring oleh syahwat sehingga menjadi pengikut mode dan adat, mereka juga telah terbius oleh para penyeru permisivisme yang membolehkan manusia berkreasi dan melakukan apa saja tanpa mengindah kan norma dan aturan syari'at.

Masuk kategori shalat dengan pakaian asal-asalan adalah shalat memakai piyama atau baju tidur. Suatu ketika Rasululah n ditanya oleh seseorang tentang shalat dengan memakai satu pakaian (misal: celana panjang saja tanpa memakai baju atau memakai gamis tanpa mengenakan celana-red), maka beliau menjawab, "Bukankah masing masing kalian mendapati dua pakaian?

Abdullah Ibnu Umar ra melihat Nafi’ shalat sendirian dengan memakai satu pakaian, maka dia berkata kepada Nafi’," Bukankah aku memberikan untukmu dua pakaian? Nafi' menjawab, "Ya, benar.” Maka Ibnu Umar bertanya, “Apakah engkau ketika keluar ke pasar hanya dengan satu pakaian?” Nafi' menjawab,” Tidak." Maka Ibnu Umar berkata, “Sungguh berhias untuk Allah adalah lebih berhak (dilakukan)."

Maka dengan demikian orang yang shalat dengan baju tidur termasuk dalam kategori ini, karena tentu dia akan merasa malu apabila bepergian atau ke pasar dengan memakai piyama tersebut.

Dan bagi wanita, shalat dengan pakaian yang tipis urusannya lebih berat dari pada laki-laki. Maka jangan sampai para wanita shalat dengan pakaian yang terbuat dari kain yang tipis atau transparan, karena meskipun menutup seluruh tubuh namun tetap memperlihatkan kulit dan badannya.

* Shalat dengan aurat terbuka

Masalah terbukanya aurat ini terjadi pada beberapa klasifikasi manusia:

-Pertama; Seseorang mengenakan celana ketat yang membentuk lekuk tubuh (aurat) kemudian memakai baju yang pendek, sehingga ketika rukuk atau sujud pakaiannya tersingkap, maka kelihatan bagian bawah punggungnya dan bentuk auratnya karena ketatnya celana yang dipakai dan pendeknya baju.

Maka dengan pakaian seperti ini berarti dia membuka auratnya, padahal dia sedang rukuk dan sujud di hadapan Allah swt, semoga Allah menjaga kita semua dari hal itu. Terbukanya aurat dalam keadaan shalat dapat menyebabkan batalnya shalat, dan inilah salah satu efek negatif mengimpor pakaian dari negri kafir.

Ke dua;Orang yang tidak sungguh-sungguh menutup auratnya dan tidak berusaha semaksimal mungkin menutupinya, padahal sebenarnya dia mampu. Hal ini biasanya karena faktor kebodohan, malas dan ketidakpedulian seseorang dalam menutup auratnya.

Perhatian juga kepada para wanita, jangan sampai shalat dalam keadaan sebagian rambutnya terlihat, atau tidak tertutup keseluruhannya. Jangan pula tersingkap lengan atau betisnya. Karena menurut jumhur (mayoritas) ulama kalau sampai demikian, maka hendaknya ia mengulang shalatnya tersebut. Hal ini berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh sayyidah Aisyah ra bahwa Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, artinya,
"Allah tidak menerima shalat wanita yang sudah mengalami haid (baligh) kecuali dengan mengenakan tutup kepala (khimar)."

Salah satu pakaian yang dikhawatirkan menjadi sebab terbukanya aurat wanita adalah jilbab kecil yang sangat memungkinkan apabila shalat dengan tanpa tutup lain yang lebih lebar akan tersingkap bagian rambutnya.

Ke tiga; Orang tua yang mengajak shalat anak-anak mereka yang sudah cukup besar (usia di atas tujuh tahun) hanya dengan pakaian seadanya, seperti memakaikan celana pendek untuk mereka.

* Shalat dalam keadaan isbal ( khusus pria )

Banyak sekali dalil yang menjelaskan haramanya isbal, baik ketika shalat maupun di luar shalat. Namun masih banyak kaum muslimin yang kurang perhatian dengan masalah ini, padahal ada sebuah riwayat marfu' dari Abu Hurairah yang menyebutkan bahwa Allah tidak menerima shalat seseorang yang musbil (menjulurkan pakaiannya di bawah mata kaki). Hadits ini dinyatakan hasan oleh An-Nawawi di dalam kitab Riyadhus Shalihin dan oleh Ahmad Syakir dalam ta'liqnya terhadap kitab Al Mahalli. Namun berdasar penelitian, hadits tersebut adalah dha'if karena rawi dari tabi'in adalah majhul (tidak dikenal). Andaikan hadits tersebut shahih, maka amat banyak kaum muslimin yang berada dalam bahaya besar karena melakukan shalat dalam keadaan isbal. Namun tetap saja shalat dengan kondisi isbal adalah sebuah kesalahan, sehingga meskipun shalatnya sah, pelakunya mendapatkan dosa.

* Menyingsingkan atau melipat lengan baju

Termasuk kesalahan dalam pakaian shalat adalah menyingsingkan atau melipat lengan baju ketika akan shalat.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, dia berkata, "Rasulullah bersabda, "Aku diperintahkan untuk sujud di atas tuju anggota badan, tidak menahan rambut dan menyingsingkan pakaian."

* Shalat dengan pundak terbuka

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah bersabda, "Jangan sekali-kali salah seorang di antara kalian shalat hanya dengan satu pakaian tanpa adanya penutup sedikit pun di atas pundaknya." (HR Muslim).
Larangan di atas menunjukkan atas makruhnya hal itu, bukan keharamannya. Sebab jika seseorang telah menutup auratnya, maka shalatnya sah meskipun tidak meletakkan sesuatu di atas pundaknya, namun perbuatan ini dibenci.

* Shalat dengan pakaian yang bergambar.

Diriwayatkan dari Aisyah ra dia berkata, Suatu ketika Rasulullah shalat dengan memakai qamishah (gamis) yang terdapat gambar, tatkala selesai shalat beliau bersabda, "Bawalah qamishah ini kepada Abu Jahm bin Khudzaifah dan bawakan untukku anbijaniyah, karena qamishah tadi telah mengganggu shalatku."

Anbijaniyah adalah jenis kain yang agak tebal yang tidak bermotif dan tidak ada gambar(kain polos).
Dari Anas Radhiallaahu anha dia berkata, Aisyah ra pernah memasang sehelai kain untuk menutup salah satu dinding sisi rumahnya. Maka Nabi n bersabda kepadanya, " Singkirkan dia dariku karena selalu terlintas dalam pandanganku ketika aku melakukan shalat."

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat dengan memakai pakaian yang bergambar, dan jumhur fuqaha (mayoritas ahli fikih) menganggap hal tersebut makruh.
Imam Malik ditanya tentang cincin stempel yang bergambar (orang atau hewan-pen), Apakah boleh dipakai dan shalat dengannya? Beliau menjawab, “Tidak boleh dipakai dan tidak boleh shalat dengannya.” Adapun uang atau koin dengan gambar manusia maka membawanya ketika shalat menurut as-Samarqandi tidak apa-apa karena kecil dan tersimpan/tertutup.

* Shalat dengan pakaian kuning.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr ra bahwa Rasulullah melihat dua pakaian dicelup (diwenter) dengan warna kuning, maka beliau bersabda, "Sesungguhnya itu termasuk pakaian orang kafir, maka engkau jangan memakainya."
Dari Anas ra dia berkata, "Rasulullah melarang seseorang untuk mewarnai bajunya dengan warna kuning (za'faran, semisal warna kunyit-red).
Dan dalam hadits yang bersumber dari Ali ra dia berkata, "Rasulullah n melarang pakaian mu'ashfar (yang di celup dengan warna kuning)."
Ada pun bagi wanita maka tidak apa-apa mengenakan pakaian dengan warna tersebut.

* Shalat Tanpa Tutup Kepala

Apabila yang melakukan demikian adalah orang laki-laki maka dibolehkan, namun tidak dibolehkan bagi kaum wanita, karena kepala bagi seorang wanita adalah aurat. Akan tetapi yang mustahab(dianjurkan) adalah shalat dengan menutup kepala karena lebih sempurna dan pantas.

Syaikh Nashiruddin al-Albani berkata, "Saya berpendapat bahwa shalat dengan kepala terbuka adalah makruh, karena merupakan hal yang bisa diterima jika seorang muslim masuk masjid untuk shalat dengan penampilan islami yang semaksimal mungkin, berdasarkan hadits, "Sesungguhnya berhias (rapi) di hadapan Allah adalah lebih berhak (dilakukan)."

Perlu diketahui bahwa shalat dengan kepala terbuka adalah makruh, maka tidak dibenarkan seseorang tidak mau shalat dibelakang orang (imam) yang tidak memakai tutup kepala.

Wallahu a’lam bish shawab. Semoga Allah memberikan taufiq dan hidayah kepada kita semua untuk menggapai kesempurnaan Shalat. (Abu Ahmad)
Catatan: Rawi dan derajat hadits memang tidak dicantumkan, sesuai dengan yang terdapat di dalam kitab aslinya. Hal ini dikarenakan hadits yang ada di dalam kitab al-Qaul al-Mubin sudah terseleksi keshahihannya.

Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman,
“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya bagi orang-orang yang beriman.” (An-Nisaa’ :103)
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (QS. 2:43)
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda,

“Islam dibangun atas 5 hal: Syahadat bahwa tidak ada ilah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah kemudian mendirikan shalat, menunai-kan zakat, melaksanakan hajji ke Tanah Haram (Makkah) dan shaum di Bulan Ramadhan.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Ayat-ayat dan hadits di atas menunjukkan tingginya posisi shalat dalam Islam dan sebagai salah satu rukunnya yang terpenting setelah syahadatain. Shalat juga merupakan amal yang paling afdhal setelah syahadatain, hal ini dikarenakan shalat adalah satu-satunya ibadah yang paling lengkap dan paling indah yang mengumpulkan berbagai macam bentuk ibadah. Shalat juga merupakan ibadah yang pertama kali diperintahkan oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam kepada seorang muslim.
Shalat lima waktu hukumnya fardhu ‘ain berdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah dan Ijma’. Allah memfardhukan shalat di malam mi’raj dari langit ketujuh. Hal ini menunjukkan tingginya kedudukan dan kewajiban shalat.
Hadits-hadits yang menjelaskan tentang shalat 5 waktu beserta bilangan roka’atnya dan semua sifat gerakannya, telah mencapai derajat mutawatir ma’nawi. Dan segala sesuatu yang dinukil secara mutawatir itu harus diterima oleh setiap muslim dan siapa pun yang menentang atau menolaknya, maka ia kafir.

HUKUM ORANG MENINGGALKAN SHALAT DI TINJAU DARI PENYEBABNYA

A. Karena Udzur, seperti tertidur , pingsan dan lupa termasuk mabuk.

Para ulama sepakat tentang udzur-nya orang yang ketiduran, sehingga lupa tidak mengerjakan shalat, atau dalam keadaan sadar, namun lupa mengerja-kannya, maka dalam kedua keadaan tersebut, ia wajib mengqadha’nya bila ingat, berdasarkan hadits,

“Barangsiapa tertidur sehingga tidak mengerjakan shalat atau lupa, maka ia wajib mengqadha’nya ketika dia ingat. “ (H.R. Muslim)
Adapun orang yang pingsan para ulama berbeda pendapat tentang wajib tidaknya dia mengqadha’ shalat. Menurut madzhab Maliki dan Syafi’i tidak wajib mengqadha’, kecuali bila ia pingsan ketika shalat , sedangkan Imam Abu Hanifah mengatakan tidak wajib mengqadha, jika pingsannya lebih dari sehari semalam, sedangkan menurut madzhab Ahmad bin Hambal, ia wajib mengqadha’ nya secara mutlak karena orang pingsan biasanya tidak lama.

Secara singkat ada dua pendapat mengenai wajib tidaknya orang pingsan mengqadha’ shalat;

* Menurut jumhur ulama:
Tidak wajib mengqadha’ berdasarkan hadits Ibnu Umar bahwa beliau pernah pingsan selama sehari semalam dan tidak mengqadha’ shalat-shalat yang ditinggalkannya. (H.R. Malik)

* Menurut ulama mutaakhkhirin dari madzhab Hambali :
Wajib mengqadha’ berdasarkan hadits ‘Ammar bin Yasir bahwa beliau pernah pingsan selama 3 malam lalu setelah sehat beliau mengqadha’ shalat-shalat yang ditinggalkannya.
Menurut syaikh Muhammad Shalih al-Utsaimin rahimahullah bahwa pendapat yang benar adalah tidak perlu mengqadha’nya bagi orang yang pingsan, adapun orang yang hilang akalnya karena bius maka dia harus mengqadha’ shalat yang ditinggalkannya karena pembiusan itu atas pilihannya pribadi.

B. Karena sengaja, terbagi menjadi beberapa golongan yaitu;

* Orang yang meniggalkannya karena malas atau merasa berat tanpa meremehkannya dan dengan keyaki-nan bahwa shalat itu wajib atas dirinya, maka orang tersebut tidak dihukumi sebagai kafir yang keluar dari Islam kecuali setelah terpenuhinya dua syarat ;
a. Imam atau penguasa setempat telah memperingatkannya untuk shalat dan dia menolak.
b. Dia tetap tidak mau shalat sampai waktu shalat berikutnya hampir habis.
Oleh karena itu seseorang yang meninggalkan shalat sekali saja tidak serta merta dihukumi sebagai kafir karena boleh jadi orang tesebut mengira bahwa dia boleh menjama’ shalatnya di waktu shalat berikutnya.

* Orang yang meninggalkannya karena tidak tahu bahwa shalat itu wajib atasnya. Orang tersebut tidak dihukumi sebagai kafir yang keluar dari Islam namun ia harus diberitahu tentang hukum meninggalkan shalat tersebut sampai menjadi jelas baginya.

* Orang yang menentang wajibnya shalat atas dirinya (yaitu shalat 5 waktu dan shalat jum’at), baik dia mengerjakan atau meninggalkannya, maka orang tersebut dihukumi sebagai kafir yang keluar dari Islam karena dia menentang sesuatu yang telah disepakati oleh al-Qur’an, as-Sunnah dan Ijma’ kaum muslimin.
Para ulama mengecualikan orang-orang yang baru masuk Islam yang menentang wajibnya shalat, namun orang itu harus diberitahu sejelas mungkin, sehingga apabila setelah itu dia masih menentang, selanjutnya dia dihukumi sebagai orang kafir yang keluar dari agama Islam.
Dalil-dalil yang dipergunakan oleh para ulama dalam hal ini ialah sebagai berikut;
Firman Allah dalam surat at-Taubah : 11
“Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menuaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama.” (Q.S.9:11)
Sabda Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam ,

Dari Jabir bin Abdillah Radhiallaahu anhu Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, “ Pemisah antara seseorang dengan kesyirikan dan kekafiran adalah dengan meninggalkan shalat” (H.R. Muslim)

“Perjanjian antara kita dengan mereka (orang kafir) adalah shalat, barangsiapa meninggalkannya sungguh dia telah kafir.” (H.R. Ahmad, At-Turmudzi, An-Nasa’i dan yang lainnya)
Allah mensyaratkan dalam ayat di atas bahwa taubatnya orang kafir yang ingin diterima oleh Allah harus disertai dengan mendirikan shalat dan menunai-kan zakat. Jika salah satunya tidak terpenuhi, maka orang tersebut tidak dianggap sebagai muslim.
Dan dalam hadits tersebut Rasu-lullah menyebut kata-kata kufur dengan lafadh ma’rifah yang menunjukkan, bahwa kufur tersebut adalah kufur yang hakiki dan bukannya kufur duuna kufrin (kufur kecil).
Dengan demikian jelaslah, bahwa yang dimaksudkan oleh hadits di atas adalah kufur akbar yang mengeluarkan pelakunya dari millah (Islam). Demikianlah yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.
Adapun dalil dari perkataan para shahabat adalah banyak sekali, bahkan diriwayatkan dari 16 sahabat, di antaranya Umar bin Khaththab Radhiallaahu anhu , bahwa beliau berkata,
“Tidak ada bagian sedikit pun dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat’
Salah seorang tabi’in bernama Abdullah bin Syaqiq meriwayatkan pendapat para shahabat Nabi secara umum tentang orang yang meninggalkan shalat, beliau berkata,

“Para sahabat Nabi tidak pernah memandang suatu amalan pun yang bila ditinggalkan akan menyebabkan pelakunya menjadi kafir kecuali shalat.” (H.R. At-Turmudzi 2624)
Oleh karena itu, Imam Ishaq bin Rahawaih mengatakan,

“Orang-orang di zaman sahabat senantiasa mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir.”
Sedangkan dalil menurut akal pikiran, sesungguhnya setiap manusia yang berakal yang di hatinya masih tersisa iman meski sebesar atom, tidak akan mungkin terus menerus mening-galkan shalat, padahal dia tahu hukumnya dan tahu bahwa shalat tersebut diwajibkan di tempat yang paling mulia (sidratul muntaha) dan sudah diringankan dari 50 waktu menjadi 5 waktu sehari semalam, dan diharuskan untuk bersuci sebelumnya berbeda dengan ibadah-ibadah yang lainnya. Demikian pula bagi orang yang akan shalat dianjurkan untuk mengenakan perhiasan (khusus laki-laki), maka bagaimana mungkin seseorang yang bersaksi bahwa tidak ada Ilah selain Allah terus menerus meninggalkan shalat? Sesungguhnya syahadat yang telah ia ikrarkan seharusnya mendorong dia untuk beribadah kepada Allah dengan ibadah yang paling utama.
Karena tidak mungkin seseorang mengaku-aku sesuatu namun dia meninggalkannya, orang seperti itu adalah pendusta! Maka sangat beralasan apabila yang meninggalkan shalat di hukumi dengan kafir, karena nash-nash al-Qur’an dan hadits jelas-jelas menyatakan kafirnya orang tersebut.

Penutup
Demikianlah pembahasan sepintas mengenai hukum orang yang meninggakkan shalat. Oleh karena itu, hendaklah kita perhatikan betul-betul ibadah yang satu ini dan kita peringatkan orang -orang yang meremehkan atau bahkan meninggalkannya karena dalih apa pun, sebab perbuatannya tersebut akan dapat membawanya kepada kekafiran yang nyata. Wallaahu a’lamu bisshawaab.

Penyusun : Sufyan Baswaidan

Orang yang sedang sholat berarti sedang bermunajat kepada Rabbnya, mengingat dengan menyebut-Nya, berdoa, mengagungkan dan memuji kebesaran-Nya. Maka selayaknya seorang muslim tidak mengganggu kekhusyu'an saudaranya yang sedang bermunajat tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallamketika sedang beri'tikaf telah bersabda, artinya,
"Ketahuilah bahwa setiap dari kalian sedang bermunajat kepada Rabbnya, maka janganlah sebagian dari kalian mengganggu yang lainnya." (HR Ahmad, Abu Dawud dan dishahihkan al-Albani). Dan mengganggu atau menyakiti kaum muslimin secara umum adalah perbuatan yang dilarang, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, artinya,
"Barang siapa yang mengganggu orang-orang muslim di jalan mereka maka laknat mereka pasti akan menimpanya."

Maka tidak diragukan lagi bahwa mengganggu sesama muslim di dalam masjid dan membuat keributan di sekitar orang yang sedang shalat atau sedang berdzikir adalah perbuatan yang dilarang. Perbuatan tersebut termasuk kemungkaran yang besar, karena akan menumbuhkan sikap meremehkan kemuliaan masjid dan orang-orang yang sedang beribadah di dalamnya.

Di bawah ini ada beberapa hal yang merupakan bentuk dari perilaku yang dapat mengganggu sesama muslim tatkala berada di dalam masjid. Diharapkan dengan menyebutkannya dapat menjadi peringatan bagi kita semua agar senantiasa berhati-hati dan menajuhinya.

Melangkahi Pundak


Melangkahi pundak merupakan salah satu bentuk menyakiti perasaan atau mengganggu orang yang (akan) shalat, terutama pada hari Jum'at atau di masjid yang penuh dengan jama'ah. Lebih tidak sopan lagi bila dalam mengangkat kaki sejajar atau di atas kepala jama'ah yang dia lewati. Kasus ini biasanya terjadi ketika sebelum iqamah dan shaf bagian depan telah terisi penuh atau sudah tidak ada celah lagi, sementara yang bersangkutan datang terlambat dan memaksakan diri ingin berada di shaf awal.

Suatu saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallampada hari Jum'at melihat seseorang melangkahi pundak saudaranya yang lain, maka beliau menegurnya dan bersabda, artinya, "Duduklah kamu, susungguhnya kamu telah mengganggunya."

Hadits ini merupakan hadits yang paling keras dari hadits-hadits lainnya yang menyinggung permasalahan ini, sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Fath. Dalam sebuah riwayat marfu' dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhudisebutkan dengan jelas tentang gugurnya pahala Jum'at bagi yang melangkahi pundak orang lain. Ibnu Wahab salah seorang parawi hadits tersebut menyatakan bahwa makna dari hadits ini adalah, sholat yang dilakukan hukumnya tetap sah namun dia tidak mendapatkan keutamaan Jum'at. (Fathul Bari 2/414)

Hadits di atas meskipun terjadi dalam shalat Jum'at, namun bukan berarti larangan hanya berlaku pada hari tersebut. Penyebutan dengan hari Jum'at karena pada umumnya pada hari tersebut banyak kaum muslimin yang hadir di masjid. Ini dikuatkan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, "Sungguh engkau telah mengganggu," dan mengganggu sesama muslim dilarang setiap waktu bukan pada hari Jum'at saja.

Telah berkata al-Imam an-Nawawi, "Orang yang masuk masjid, baik pada hari Jum'at atau selainnya dilarang melangkahi tengkuk saudaranya, kecuali jika sangat terpaksa (darurat)." (al-Majmu' syarh al-Muhadzdzab 4/546)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga mengatakan, "Tidak boleh bagi siapa saja melangkahi pundak seorang muslim untuk mendapatkan shaf pertama jika di dekatnya tidak ada celah yang dapat diisi baik pada hari Jum'at atau lainnya. Karena hal itu merupakan perbuatan zhalim dan kedurhakaan kepada Allahsubhanahu wata’ala.(al-Ikhtiyarat hal 87).

Sebagian ulama mengatakan makruh perbuatan ini, dan sebagian yang lain mengharamkannya sebagaimana dikatakan al-Imam an-Nawawi dan Syaikhul Islam. Namun keharaman ini dikecualikan jika orang yang datang lebih dahulu tidak menempati shaf awal, dan membiarkan shaf depan ada celah. Maka dalam hal ini boleh seseorang melangkahi pundak dalam rangka menyempurnakan shaf dan menutup celah yang kosong. Wallahu a'lam.

Mendesak Orang Lain ketika Shalat

Tidak diragukan lagi bahwa terlalu berdesakan ketika shalat menyebabkan hilang atau berkurangnya kekhusyu'an. Pemandangan seperti ini terjadi khususnya pada hari Jum'at, ketika malam bulan Ramadhan dan semisalnya. Kesalahan ini biasanya dilakukan oleh orang yang datang terlambat namun ingin berada di shaf depan, bahkan tak segan-segan menerobos shaf dengan menggunakan kekuatan ototnya.

Terlalu berdesakan akan menyebabkan orang tidak dapat meletakkan kedua tangannya di dada dengan baik ketika shalat, dan menyebabkan saling berhimpitan terutama ketika sedang duduk atau tahiyat. Dan yang jelas sikap nylonong atau menerobos shaf yang sudah rapat adalah perbuatan merebut hak orang lain dan tidak menghormati jama'ah yang datang lebih awal. Memang benar shaf awal adalah sangat utama, namun mengganggu sesama muslim adalah perbuatan haram. Dan meninggalkan yang haram harus didahulukan daripada mengejar keutamaan.

Yang dituntut bagi seorang muslim adalah hendaknya melapangkan shaf untuk orang lain apabila memungkinkan. Jangan sampai mangambil tempat melebihi dari kebutuhannya dan merasa berat untuk memberi tempat kepada saudaranya padahal masih memungkinkan. Namun bagi yang datang lebih belakang atau terlambat juga harus bersikap toleran dan lemah lembut kepada saudaranya. Hendaknya jangan membuat sempit tempat saudaranya jika shaf tersebut memang sudah tidak mungkin lagi untuk diisi. Islam mengajarkan agar seseorang duduk di belakang atau tempat mana saja yang kosong apabila sudah tidak ada tempat lagi untuk diduduki.

Membaca al-Qur'an dengan Suara Keras

Membaca al-Qur'an di dalam masjid dengan suara keras, selain mengganggu orang yang sedang shalat juga mengganggu orang lain yang sedang membaca al-Qur'an. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang perbuatan itu melalui sebuah hadits dari Abu Sa'id al-Khudri radhiyallahu ‘anhudia berkata, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallamberi'tikaf di dalam masjid, beliau mendengar para shahabat membaca al-Qur'an dengan suara keras, maka beliau bersabda, "Ketahuilah sesungguhnya masing-masing dari kalian sedang bermunajat kepada Rabbnya, maka janganlah sebagian dari kalian mengganggu yang lain, dan janganlah sebagian mengeraskan suara di atas yang lain dalam membaca al-Qur'an, atau beliau bersabda, "di dalam shalat." (HR.Ahmad dan Abu Dawud)

Syaikhul Islam berkata, "Tidak boleh bagi siapa pun mengeraskan suara ketika membaca baik di dalam shalat maupun di luar shalat, terutama ketika di dalam masjid karena hal itu dapat mengganggu orang lain." Dan ketika ditanya tentang mengeraskan bacaan al-Qur'an di dalam masjid, beliau menjawab, "Segala perbuatan yang bisa mengganggu orang yang berada di dalam masjid atau yang mengarah pada perbuatan itu maka hal itu terlarang, wallahu a'lam.( al-Fatawa 23/61)

Adapun membaca dengan bersuara namun tidak terlalu keras dan tidak mengganggu orang lain maka hal itu dibolehkan sebagaimana banyak tersebut di dalam hadits. Terutama jika yang bersangkutan merasa aman dari perbuatan riya'. Bahkan bisa jadi merupakan keharusan apabila dalam rangka belajar al-Qur'an. Karena tidak diragukan lagi bahwa mengeraskan bacaan dalam kondisi ini akan menggugah hati, menambah semangat dan memberikan manfaat bagi orang lain yang mendengarkannya. (at-Tibyan, an-Nawawi hal 71)

Dalam shalat malam juga diboleh- kan mengeraskan bacaan selagi dapat menjaga diri dari riya'. Aisyahradhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar seseorang membaca sebuah surat dari al-Qur'an pada suatu malam, beliau bersabda, "Semoga Allah merahmatinya, sungguh bacaannya itu telah mengingatkanku pada ayat ini dan ini yang sebelumnya saya kira bagian dari surat ini dan ini." (HR.al-Bukhari dan Muslim).

Lewat di Depan Orang Shalat


Berjalan di depan orang shalat di antara dia dan sutrah (pembatas)nya adalah perbuatan haram, karena mengganggu dan mengacaukan konsentrasinya dalam bermunajat kepada Allah subhanahu wata’ala. Perbuatan ini dilarang dengan keras dan pelakunya mendapatkan ancaman yang sangat berat, sebagaimana dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menjelaskan bahwa berdiri selama empat puluh (hari atau bulan atau tahun, perawi tidak tahu persis-red)adalah lebih baik daripada lewat di hadapan orang yang sedang shalat.

Oleh karena itu dibolehkan bagi yang sedang shalat untuk mencegah orang yang akan melewatinya, jika sekiranya masih ada jalan lain yang memungkinkan untuk dilewati. Karena dalam sebuah hadits yang bersumber dari Abu Sa'id al-Khudri radhiyallahu ‘anhuRasulullah shallallahu ‘alaihi wasallambersabda, artinya,
"Jika salah seorang diantara kalian shalat menghadap sutrah (yang menghalangi) orang (untuk lewat), lalu ada seseorang yang mau melewatinya maka tahanlah dia. Apabila menolak maka lawanlah dia karena dia adalah syetan." (HR.al-Bukhari dan Muslim)

Berbicara Dengan Suara Keras


Hal ini terjadi ketika sekelompok orang khususnya para pemuda terlibat dalam sebuah pembicaraan. Ketika iqamah telah dikumandangkan mereka tidak segera menyelesaikan pembicaraan namun tetap melanjutkannya sehingga terlambat bertakbiratul ihram dan membaca al-Fatihah bersama imam. Ketika imam sudah mendekati rukuk barulah mereka menuju shaf untuk menyusul shalat.

Sikap ini dari satu sisi merupakan bentuk meremehkan terhadap shalat dan di sisi lain akan mengganggu saudara-saudara mereka yang sedang shalat. Jika orang yang sedang shalat sunnah diperintahkan untuk membatal kannya ketika sudah iqamah (jika diperkirakan ketinggalan takbiratul ihram,red) maka bagaimana lagi hanya sekedar mengobrol?

Memang benar seseorang yang mendapatkan ruku’ dihitung telah mendapatkan satu raka'at, namun itu bagi orang yang benar-benar telambat, bukan sengaja mengulurnya sedang dia berada di masjid dan mengetahui dimulainya shalat. Mengenai hukum orang yang melakukan perbuatan demikian maka ada perbedaan apakah dia terhitung mendapatkan raka’at atau tidak. Saya (penulis,red) lebih condong kepada pendapat yang menyatakan bahwa orang yang tidak membaca al-Fatihah karena menyepelekan dan sibuk dengan obrolan maka raka’atnya batal, sehingga tidak terhitung medapatkan satu rakaat. Karena dia telah melanggar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, artinya, "Tidaklah dijadikan seorang imam kecuali untuk diikuti, maka jika dia bertakbir bertakbirlah kalian semua."

Dan orang tersebut tidak bertakbir setelah imam bertakbir, tidak membaca iftitah dan al-Fatihah padahal dia punya kesempatan untuk itu. Maka dengan demikian, rakaat apa yang telah dia kerjakan, dan shalat model apa yang dia lakukan? Wallahu a’lam bish shawab

Sumber: “Ahkam Hudhur al-Masajid”, Abdullah bin Shalih al-Fauzan, edisi Indonesia “Adab Masuk Masjid” Pustaka Azzam(hal 161-168) dengan penyesuaian bahasa.(Abu Ahmad).

Di antara hikmah di balik perintah shalat yaitu:

1. Shalat merupakan Rukun Islam Teragung setelah Dua Kalimat Syahadat (asy-Syahadatain).

Di dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu ‘alihi wasallam bersabda,
"Islam dibangun di atas lima hal; Persaksian bahwa tiada Tuhan -yang haq disembah- selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah; Mendirikan Shalat; Membayar zakat; Mengerjakan haji ke Baitullah dan berpuasa Ramadhan.” (Muttafaqun 'alaih)

Dari Abu Sa'id al-Khudry radhiyallahu ‘anhu bahwasanya tatkala Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam membagi-bagikan harta rampasan perang, ada seorang laki-laki berkata kepada beliau, "Wahai Rasulullah, bertaqwalah engkau kepada Allah." Lalu beliau menjawab, "Celakalah engkau, bukankah aku adalah penduduk bumi yang paling berhak untuk bertakwa kepada Allah.?" Maka, Khalid bin al-Walid zpun berkata, "Biar aku penggal saja lehernya, wahai Rasulullah!" Beliau menjawab, "Tidak, semoga saja ia kelak melaksanakan shalat." (Muttafaqun 'alaih)

2. Shalat adalah Kembaran Semua Kewajiban Dan Rukun-Rukun.

Shalat merupakan ibadah yang paling banyak disebut di dalam al-Qur'an. Terkadang disebut secara khusus (tersendiri), seperti firman-Nya, artinya,
"Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan sore) dan pada bahagian permulaan malam." (Hûd:114)

Terkadang disebut berurutan dengan sabar, seperti firman-Nya, artinya,
"Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat." (al-Baqarah:153). Terkadang disebut berurutan dengan zakat seperti firman-Nya, "Dan dirikanlah shalat serta bayarlah zakat.", dan banyak lagi contoh lainnya.

Dari 'Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda,
"Tiga hal yang aku bersumpah atasnya, (agar) Allah tidak menjadikan siapa saja yang memiliki bagian (saham) dalam Islam, sama seperti orang yang tidak memilikinya. Dan saham-saham Islam itu ada tiga: shalat, puasa dan zakat." (Hadits Shahih)

Allah subhanahu wata’ala tidak menyebutkan shalat yang digandengkan dengan kewajiban-kewajiban lainnya melainkan Dia mendahulukan shalat atas selainnya. Misalnya, shalat disebutkan di dalam pembukaan amal-amal kebajikan dan penutupnya sebagaimana dapat kita lihat pada awal surat al-Mu'minun dan al-Ma'arij.

3. Shalat merupakan Induk Semua Ibadah.

Seorang hamba diperintahkan agar meresapi dan khusyu’ dalam shalatnya baik secara lahiriah maupun batin dan membuat hati, lisan dan seluruh anggota badannya larut di dalamnya. Hal ini sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala, "Dan berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'." (al-Baqarah:238)

Nabi shallallahu ‘alihi wasallam bersabda, "Sesungguhnya di dalam shalat itu terdapat kesibukan." (Muttafaqun 'alaih)

Artinya, seorang yang sedang melakukan shalat dilarang makan, minum, menoleh dan banyak bergerak. Ini tentunya berbeda dengan ibadah-ibadah lain selain shalat yang hanya diwajibkan atas sebagian anggota badan saja. Orang yang berpuasa misalnya, masih boleh untuk berbicara, seorang mujahid masih boleh menoleh-noleh dan berbicara, seorang yang melakukan haji masih boleh makan dan minum namun shalat tidak demikian. Di dalamnya terdapat berbagai jenis bentuk ibadah yang lengkap; ibadah hati, akal, badan dan lisan. Ibadah lisan tercermin pada ucapan syahadatain, takbir, ta'awwudz, basmalah, bacaan al-Qur'an, tasbih, tahmid, istighfar dan doa-doa. Ibadah anggota badan terefleksi pada aktivitas berdiri, ruku', sujud, i'tidal (bangun dari ruku'), turun untuk sujud, mengangkat tangan dan duduk. Ibadah akal terefleksi pada aktivitas berfikir, merenungi (tadabbur) dan memahami. Sedangkan ibadah hati terefleksi pada kekhusyu'an, rasa takut, rasa ingin mendapat pahala, kenikmatan, ketundukan dan tangis (karena rasa takut kepada Allah subhanahu wata’ala).

4. Shalat merupakan Wasiat Terakhir Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam .

Dalam detik-detik terakhir keberadaannya di alam fana' ini dan di saat-saat menghadapi sakaratul maut, Rasulullah hanya berwasiat tentang shalat dan masalah budak saja. Hal ini sebagaimana dalam hadits shahih yang diriwayatkan dari 'Ali radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, "Adalah kata terakhir Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam, 'Dirikanlah Shalat, Dirikanlah shalat. Takutlah kamu kepada Allah terhadap para budak kamu."

5. Shalat merupakan Cermin Amalan Seorang Muslim dan Neraca Seberapa Agung ad-Dien di Hati Seorang Mukmin.

Shalat merupakan neraca yang melaluinya manusia mengukur seluruh amalannya; apakah bertambah atau berkurang sebagaimana halnya alat periksa yang digunakan seorang dokter untuk memonitor tekanan darah pasiennya.

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alihi wasallam bersabda,
"Hal pertama yang akan dihisab (diperhitungkan) terhadap seorang hamba pada hari Kiamat kelak adalah shalat; bila ia baik (layak) maka akan baiklah seluruh amalannya dan bila ia rusak, maka akan rusaklah seluruh amalannya."

Sebelum penilaian sisi keunggulan dilakukan terhadap hal-hal lain seperti dalam keilmuan dan kecerdasan, maka hal paling pertama yang dijadikan tolok ukur keunggulan antar sesama manusia adalah kondisi shalatnya. Inilah tolok ukur yang benar dan dengannya seseorang dinilai tingkat keberagamaan dan kedudukannya dalam Islam.

Sesungguhnya setiap orang yang menganggap ringan dan meremehkan shalat, maka pasti ia juga menganggap ringan dan meremehkan dien al-Islam, sebab ukuran seseorang dalam Islam itu disesuaikan dengan ukuran dari shalatnya. Bila anda ingin mengetahui kadar keinginan anda terhadap Islam, maka periksalah keinginan shalat anda sebab kadar keislaman di hati anda adalah seukuran kadar shalat yang ada di dalamnya. Bila anda ingin mengukur keimanan seorang hamba, maka lihatlah seberapa besar ia mengagungkan shalat.

Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda dalam sebuah hadits Hasan,
"Siapa saja yang ingin mengetahui apa yang didapatkannya di sisi Allah, maka hendaklah ia melihat seberapa besar (kewajiban) terhadap Allah mendapat perhatiannya."

Al-Hasan al-Bashri berkata, "Wahai Anak Adam, apa lagi yang kau banggakan dari agamamu bila shalat telah kau remehkan."

6. Shalat merupakan Keterbebasan dari Kemunafikan.

Dalam hal ini, Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda,
"Barangsiapa yang mendirikan shalat sebanyak 40 hari secara berjama'ah, ia (selalu) mendapatkan takbir pertama, niscaya akan dicatat baginya dua keterbebasan: keterbebasan dari api neraka dan keterbebasan dari kemunafikan." (Hadits Hasan)

7. Shalat merupakan Cahaya, Bukti (Hujjah) dan Kecemerlangan.

Shalat merupakan cahaya yang menghilangkan tindakan aniaya dan kebatilan. Ia memancarkan cahaya, menjadikan elok dan kecemerlangan bagi pelakunya -sebagaimana yang dapat dirasakan sendiri oleh kita- serta menyinari kuburan pelakunya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Abu ad-Dardâ' radhiyallahu ‘anhu, "Shalatlah kamu dua raka'at di kegelapan malam untuk (menyinari) kegelapan kuburanmu." Demikian juga, ia akan berkelap-kelip kelak di hari Kiamat yang memancar dari jidat pelakunya. Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda, "Shalat itu adalah nur (cahaya)." (HR.Muslim)

Dalam sabdanya yang lain, ”Shalat itu adalah bukti (Hujjah)." Yakni bukti bagi keimanan pelakunya.

8. Shalat merupakan Anugrah Rabbani.

Shalat memiliki keistimewaan tak terhingga atas ibadah wajib lainnya, sebab Allah subhanahu wata’ala sendiri yang telah mewajibkannya karena mengagungkan kedudukannya. Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam sendiri pula yang langsung menerima perintah tersebut dari Allah subhanahu wata’ala tanpa perantara, yakni pada malam Isra'. Karena itu, ia adalah anugrah Rabbani yang dianugrahkan-Nya kepada Nabi dan kekasih-Nya, Muhammad shallallahu ‘alihi wasallam pada malam yang begitu agung sebagai bentuk imbalan kepada beliau atas ibadahnya yang tulus kepada Rabbnya.

Sumber: “Ash-Shalâh, Limadza?”[i/] Muhammad bin Ahmad al-Miqdam, Dâr Thayyibah, Mekkah al-Mukarramah, Cet.II, 1415 H. (Abu Hafshoh)

;;